Wacana Full day school yang digulirkan Mendikbud mendapatkan tanggapan pro dan kontra. Banyak yang memberi tanggapan kontra hanya berdasarkan asumsi, anggapan, dan hal-hal negatif yang membayangi sistem full day school. Sebagian besar dilatari ketidaktahuan terhadap sistem full day school yang sudah berjalan. Sebagian memang sudah antipati terhadap wacana tersebut.
Full day school tentu tak bisa diterapkan untuk semua sekolah karena full day school memiliki kekhasan tersendiri. Berikut ini beberapa masalah dalam sistem full day school yang menjadi citra negatif bagi sebagian orang, beserta solusi yang bisa dipertimbangkan. Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan sebelumnya: Full day School: Prasangka, Permasalahan, dan Solusi (bagian 1)
4. Full day School Menyita Waktu Guru
Guru memiliki kewajiban untuk mengajar minimal 24 jam per minggu. Dengan penerapan full day school –pada beberapa sekolah pilihan-- kewajiban mengajar guru tentu tidak berubah, kecuali ada peraturan perundangan yang baru. Dalam full day school, guru tidak mengajar dari pagi sampai sore. Ada pembagian kerja dan tugas sesuai dengan kewajiban dan hak guru.
Di sebagian sekolah swasta yang menerapkan full day school, guru mengajar pada jam reguler (pagi-siang). Jam setelah siang diisi program yang disesuaikan dengan kondisi anak. Jika waktu pagi-siang pembelajaran lebih cenderung pada pendalaman kognitif/akademis, waktu siang-sore diisi kegiatan yang lebih santai, kegiatan pengembangan minat-bakat, atau kegiatan ekstrakurikuler. Pembelajaran siang-sore ini diampu oleh guru/pembina di luar guru reguler. Atau, guru reguler bisa mengajar pada jam sore dengan waktu bergiliran (tidak setiap hari).
Jadi, penerapan full day school tidak menyita waktu guru karena guru sudah memiliki kewajiban (beban jam mengajar) yang sudah ditetapkan oleh peraturan menteri. Penerapan full day school justru membuka lowongan pekerjaan tenaga pendidik.
5. Full day School Membutuhkan Biaya Besar
Memang benar full day school membutuhkan biaya besar. Biaya tersebut digunakan di antaranya untuk gaji tenaga pendidik tambahan, penambahan fasilitas sekolah, penyiapan makan siang/makanan ringan, dll. Biaya yang besar ini idealnya dibebankan kepada pemerintah. Dan jika hal tersebut terealisasi, masyarakat tidak terlalu memikirkan permasalahan ini.
Selama ini, sekolah yang menerapkan full day school hampir semuanya sekolah swasta yang membebankan biaya pendidikan kepada orang tua / wali siswa. Masyarakat sudah memberikan “cap” bahwa full day school berbiaya mahal. Stigma inilah yang membuat banyak orang menolak penerapan full day school.
Oleh karena itu, full day school memang tidak bisa diterapkan bagi semua sekolah atau semua kalangan. Sekolah dengan sumber pembiayaan yang besar yang bisa menerapkan full day school. Full day school bisa juga menjadi alternatif bagi orang tua / wali siswa yang memiliki kemampuan pembiayaan yang cukup.
Peribahasa Jawa berbunyi “Jer Basuki Mawa Bea”, bahwa sebuah keberhasilan itu memerlukan pengorbanan, khususnya pengorbanan harta/biaya. Jika dirasa full day school memiliki program yang baik, maka perlu mendapat dukungan dana, baik dari pemerintah maupun orang tua / wali siswa. Namun, sekali lagi, full day school adalah pilihan.
6. Full day School Adalah Ide Konyol
Sebagian orang menganggap wacana full day school adalah ide yang konyol, yang tidak bisa diterapkan, sebuah gagasan yang mengada-ada. Padahal, full day school sudah sudah diterapkan beberapa sekolah.
Sebuah gagasan, pasti ada nilai positif dan negatifnya. Sebuah sistem yang sudah dijalankan pun ada kelebihan dan kelemahannya. Akan menjadi tidak proporsional jika kita hanya memandang salah satunya. Memandang keunggulannya saja sehingga hanya menghasilkan pujian tinggi. Atau sebaliknya, melihat kelemahannya saja sehingga terlihat sangat buruk. Pihak-pihak yang berkompeten hendaknya mengkaji permasalahan full day school secara mendalam dan saksama.