Dulu pernah saya membaca satu cerita. Alkisah ada seorang profesor di Eropa yang kecerdasannya sudah tidak diragukan lagi. Malangnya, sang profesor kemudian menderita kanker otak hingga kemudian harus dioperasi. Dipilihlah seorang dokter terbaik untuk mengoperasinya.
Karena kankernya sangat parah, otak si profesor harus dikeluarkan dan ditransplantasi. Saat operasi berlangsung, si dokter melakukan kesalahan fatal. Ia salah mentransplan otak keledai ke dalam kepala si profesor.
Menyadari kesalahannya, si dokter ketakutan. Reputasinya pasti hancur. Bayangan penjara, caci-maki, dan hujatan masyarakat mengiang di kepalanya. Ia memutuskan kabur ke luar negeri. Dipilihnya lah Indonesia.
Di negara ini, ia memilih profesi sebagai aktor untuk menyembunyikan rahasianya. Namun jodoh memang tak bisa diterka. Pada satu ketika, ia secara tidak sengaja bertemu dengan salah satu pasien, si profesor yang mengalami malpraktek karena ulahnya. Si dokter alias si aktor kaget mengapa si profesor masih terlihat normal padahal ia kini hidup dengan otak keledai. Merasa bersalah, si dokter pun menceritakan kisah sebenarnya perihal malpraktik itu. Ia mengaku kabur ke Indonesia karena takut dihukum. Si profesor hanya tersenyum, ia bercerita skrg juga tinggal di Indonesia dan bahkan mendapat jabatan strategis disini. Profesor itu lalu bertanya, “trus apa yang kamu lakukan di sini?”
“saya sekarang menjadi aktor.”
“kenapa memilih aktor?”
“disini pekerjaan inilah yang paling laku. Hanya modal tampang dan sedikit akting, kita sudah bisa terkenal. Prof, saya bingung, otak profesor kan sudah tertukar, bagaimana profesor bisa menjadi pejabat disini?”
“hahahahahaha, di negara ini saya hanya butuh otak seperti itu untuk bisa melakukannya...kamu yang aktor juga pasti bisa.”
-----
Kini saya melihat satu kisah. Suatu negeri tempat saya tinggal dengan masalah yang melimpah ruah. Rakyatnya pun menganggap negerinya seperti negeri para bedebah. Parahnya lagi pemimpinnya dikenal lemah mudah digertak hingga suka kalah (maksudnya mengalah).
Saya takut sindiran dalam cerita fiksi di atas benar-benar nyata adanya di negeri saya. Tapi semakin saya mencari fakta untuk menepis ketakutan itu, yang saya temukan malah sebaliknya.