Akhirnya setelah dua musim yang kurang menggigit, Homeland kembali dengan kisah yang gilang-gemilang. Setelah Nicholas Brody mangkat, serial ini seolah sempoyongan mencari alur cerita nan seru seperti tiga musim pertamanya. Syukur kita panjatkan, musim keenam ini Homeland sudah menemukan jalan yang benar.
Plot mendebarkan khas Homeland yang telah lama hilang kini dibangun lagi di musim yang baru. Di mula kita disuguhi potongan puzzle misteri yang berserakan. Dahi otomatis berkerut mencernanya. Selanjutnya, ketegangan demi ketegangan beriringan membumbui jalannya cerita. Lalu datang klimaks menjelang pamungkas yang tak henti membikin jantung berdebar. Itulah formula paten yang membuat Homeland pada musim kesatu hingga ketiganya nyaris berlangganan juara di ajang Golden Globe, Emmy, dans sejenisnya. Dan kini kita kembali menjumpai itu semua.
Dikisahkan Carrie, mantan agen CIA, sudah pindah ke New York bersama anaknya. Ia bergabung dengan LSM yang membantu para muslim Amerika korban diskriminasi sosial. Kisah dimulai ketika Sekou Bah, salah satu kliennya, difitnah sebagai teroris yang berniat menghancurkan Amerika. Cerita kemudian mengalir berkelindan dengan rencana konspirasi Dar Adal dalam rangka mendongkel presiden Amerika terpilih, Elizabeth Keane.
Tapi tak apa lah. Toh elizabeth keane mampu menjadi tokoh sentral dengan karakter yang luar biasa kuat. Sosok idealis terpampang tegas dari urat wajahnya. Ketidaksukaannya pada institusi intelijen membuat ia berjarak dengan komunitas kemananan nasional. Itu lah sebabnya para bad guy berkonspirasi untuk menjinakkan dirinya.
Dengan idealisme baru itu, Keane memiliki banyak musuh. Segala cara pun diambil sang musuh untuk menjungkal Keane dari kursi kepresidenan. Tersebutlah ada rekayasa ledakan bom bunuh diri teroris hingga manipulasi isu di media sosial untuk menggiring opini publik. Terdengar familiar bukan?
Dalam kemelut drama ini, Carrie dan Saul mengambil peran sebagai the president’s man. Berbagai intrik harus dipecahkan dengan intuisi tajam Carrie. Keahliannya dalam membaca skenario intelijen membawanya menjadi salah satu kepercayaan Keane. Mereka berdua membantu Keane menghadapi semua upaya pengkhianatan terhadap presiden terpilih. Namun pedih, setelah semua perlawanan berhasil dipatahkan, pada akhirnya mereka turut disingkirkan oleh penguasa yang sudah berjibaku mereka perjuangkan itu.
Frame pamungkas dari serial ini sungguh menjadi kiasan indah. Tampak punggung Carrie yang sedang memandangi Gedung Putih dari kejauhan. Istana berdiri angkuh nun di sana. Sebuah siluet klasik itu cukup mendedahkan sebuah premis nyata: bahwa kekuasaan selalu berjarak dari rakyatnya termasuk mereka yang sudah tulus berjuang menjaganya.
Menyaksikan Homeland seperti membuka mata kita pada kenyataan di sekitar. Demi kekuasaan, segala hal dilakukan. Rakyat hanya ibarat pion yang harus senantiasa digerakkan agar sang raja nyaman dalam genggaman kekuasaan. Demi kekuasaan, diabaikanlah kemanusiaan. Semua berjuang untuk kepentingan sang junjungan.
Junjungan menjadi sakral. Ia seolah segalanya. Padahal di era milenial kini rasanya tak ada lagi manusia yang suci seutuhnya. Tidak seperti masa kerasulan dahulu kala. Orang yang kini baik siapa dapat menjamin akan jadi selamanya baik. Pun orang jahat boleh jadi akan membaik di jelang penghujung hidupnya. Tak perlu mendewakan manusia modern. Â
Marilah kita menarik napas, mengambil istirahat beberapa jenak lalu berpikir, sejatinya apa yang sedang kita perjuangkan? Kebenaran kah? Atau ego diri semata? Jangan-jangan kita sendiri malahan yang sedang dipermainkan.