Jika surga memiliki delapan lapis dengan tingkatan teratas adalah surga Firdaus, maka tak ayal sajian di depan saya ini adalah Firdaus-nya kuliner Medan. Sudah berpuluh kali saya mampir ke tempat ini. Setelahnya pula tangan saya selalu gatal untuk menuliskan ulasan. Tapi entahlah, selalu saja terasa kehabisan kata setiap kali akan melukiskan kenikmatan kuliner satu ini.
Dan kini, sepulang dari Firdaus itu, di tengah kehampaan weekend dan stok drama korea yang sudah habis, saya akhirnya menekadkan hati untuk menuliskan perasaan saya. Niat saya mulia, hanya untuk berbagi bahagia tersebab hidangan yang surgawi benar rasanya. Sekalian siapa tahu dengan tulisan ini saya bisa cepat jadi buzzer kuliner kesohor yang dengan sekali posting bisa dapat fee setara harga iPhone 7. Kalau sudah ratusan kali posting kan lumayan nanti bisa ganti mobil saya jadi Fortuner.
Astaga, kok jadi kebablasan review kulinernya. Maaf, maaf. Maafkan saya, Cak Budi.
Nama resmi warung ini adalah RM SInga Raga Jaya. Orang Medan sering menyebutnya warung Tuntungan karena letaknya di daerah Tuntungan, dekat perbatasan Medan-Deli Serdang mengarah ke Berastagi. Dengan mobil, lokasi tersebut dapat ditempuh sekitar satu jam dari pusat kota. Lepas gerbang perbatasan kota Medan, langsung saja membelok ke kiri menuju jalan besar Tuntungan. Satu kilometer kemudian, setelah melalui jembatan, tampak lah sebuah warung sederhana yang tak mencolok, tak berbeda dibanding rumah-rumah sekitar.
Tak ada yang unik dari bentuk warungnya. Seperti kebanyakan warung tradisional Sumatera Utara, bangunan warung sangat simpel bahkan jauh dari kata mewah. Berlantai tanah, dinding kayu, dan meja kursi seadanya. Beruntung pengunjung tak ada yang mempermasalahkan. Bahkan konsumen yang datang tak pernah sepi. Sebelum sore, hidangan praktis sudah habis, padahal mereka baru buka jam 10 pagi.
Hanya ada empat menu di dalam daftar; ayam, bebek, belut, dan telur. Olahannya bisa kita pilih mau goreng atau tumis. Kebanyakan pengunjung memilih menu tumis. Dan benar, menu itu lah yang paling juara.
Uniknya, denga segala “kekampungan” itu, menu warung Tuntungan justru mampu memberikan kepuasan rasa yang hakiki bagi penikmat kuliner. Romantisme warga urban akan kenangan bersantap di kampung terhadirkan di dalamnya. Kenikmatan yang ada tak hanya berhenti di lidah namun turun mengisi relung kerinduan perasaan pada makanan rumahan di kampung halaman.
Sulit menjelaskan apa yang membuat sajian di warung Tuntungan bisa tepat menangkap keinginan lidah penikmatnya. Ia dimasak hanya dengan cara ditumis, bumbunya tak spesial-spesial amat. Satu-satunya yang menonjol adalah kekhasan asam cekala yang sangat tajam terasa dalam komposisi rasa. Ia menjadi semacam dirigen yang memadukan seluruh simfoni rasa hingga mampu memberikan orgasme batiniah bagi sang pencicip. Paripurna!
Bagi penyuka pedas dapatlah minta ditambahkan cabai rawit yang dirajang dan siap memeras peluh karena luar biasa pedasnya. Saya pernah meminta tambahan cabai namun tak sampai sejumput yang mampu saya cicip. Bisa-bisa kalau terlampa pedas akan membikin lidah pedih. Meski tak mungkin lebih pedih dari berita pertunangan Hamish dan Yaya baru-baru ini. Hiks
Terakhir, usai melahap menu utama, alangkah lengkapnya bila ditutup dengan menyeruput segelas es jeruk nipis. MInuman ini sepadan sebagai penawar dahaga dan pencuci mulut yang komplit. Apalagi kesegarannya makin berlipat karena konon jeruk-jeruk nipis itu baru dipetik langsung dari tangkainya. Pas sekali bukan?