Mohon tunggu...
pungipung
pungipung Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Negeri Selebriti

.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pemberitaan Sesat dalam Kasus DW

3 Maret 2012   04:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:35 679
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1330747248709193352

Lagi-lagi perhatian publik mengarah ke muka Ditjen Pajak. Salah satu mantan pegawainya kembali disangkakan terlibat kasus korupsi. Adalah Dhana Widyatmika yang disebut-sebut memiliki rekening tak wajar senilai lebih dari 60 miliar rupiah. Yang bersangkutan pun mendapat julukan baru, The Next Gayus. Benarkah Dhana memang seorang koruptor?

[caption id="attachment_166356" align="alignright" width="230" caption="republika.co.id"][/caption] Saya tidak begitu tertarik pada permasalahan Dhana bersalah atau tidak. Saya lebih suka mengamati opini yang berkembang di masyarakat. Pemberitaan media memaksa saya kembali mengurut dada. Banyak kejanggalan atau lebih tepatnya pembengkokan fakta yang berujung pada penyesatan opini publik.

Dhana saat ini merupakan pegawai Dinas Pendapatan Daerah Pajak (Dispenda) DKI Jakarta. Ia sudah resigndari Ditjen Pajak sejak awal tahun ini. Kedua instansi ini tidak saling terkait. Dispenda merupakan unit organisasi di bawah pemerintah daerah DKI Jakarta sedangkan Ditjen Pajak merupakan bagian dari pemerintah pusat, di bawah Kementerian Keuangan RI. Oke, mungkin topik ini tidak terlalu relevan dengan kasus Dhana karena kasusnya sendiri disangkakan dilakukan saat dia bertugas di Ditjen Pajak. Hanya saja saya berharap setidaknya ini bisa menjelaskan bahwa Ditjen Pajak berbeda dengan unit pelayanan pajak Dispenda.

Pokok dalam kasus ini adalah rekening tak wajar Dhana yang disebutkan mencapai 60 miliar rupiah. Darimana sumber berita ini? Yang jelas Kejaksaan Agung tidak penah menegaskannya. Dari selentingan yang beredar, disebutkan bahwa nilai 60 miliar sebenarnya adalah jumlah keseluruhan transaksi yang pernah dilakukan Dhana.

Konon saldo rekening Dhana memang tidak sebesar itu. Menurut pengacaranya, Dhana hanya memiliki uang 400 juta di rekeningnya dengan total kekayaan seluruhnya sebesar 1,2 miliar. Yang jelas, angka ini harus benar-benar ditelusuri kebenarannya sebab uang 400 juta pun bisa jadi ratusan miliar dalam laporan transaksi kalau diputar terus-menerus.

Kalau pun benar kekayaan Dhana mencapai 1 miliar lebih, wajarkah? Saya tidak tahu tetapi kita perlu ingat Dhana juga seorang pengusaha. Ia memang berasal dari keluarga kaya dan memiliki bisnis jual-beli mobil. Ada tetangga saya yang memiliki toko lumayan besar dan menjual barang kebutuhan sehari-hari. Dari situ dia bisa punya rekening hingga dua miliar. Saya menilai itu wajar karena bisnisnya juga lancar, omsetnya pun lumayan. Jadi kalau bisnis mobil? Entahlah.

Satu lagi yang menyebalkan adalah sikap media yang selalu memoles hal-hal sepele untuk menimbulkan efek hiperbolis. Mereka mengatakan gaji Dhana di Pajak hanya 3-4 juta sehingga rasanya makin tidak masuk akal jika kemudian rekeningnya diketahui mencapai miliaran rupiah.

Media kita malas mencari fakta! Atau jangan-jangan mereka memang sengaja memoles fakta demi sebuah omong kosong bernama sensasi. Dengan statusnya sebagai Account Representative bergolongan III.c di Ditjen Pajak, gaji Dhana memang 3-4 juta tetapi mengapa tunjangannya yang mencapai belasan juta tidak diberitakan? Dengan beragam tunjangan yang diberikan, sedikitnya penghasilan rutin Dhana adalah 15 juta sebulan. Tolong dong media-media itu lebih bijak dalam menyampaikan berita sehingga publik tidak gampang diprovokasi.

Fenomena paling menyesakkan adalah kebiasaan media yang selalu mengait-ngaitkan kasus Dhana (dan juga Gayus) dengan almamaternya. Keduanya memang alumni STAN tetapi anehnya media menggeneralisir masalah ini sehingga menimbulkan kesan negatif pada reputasi kampus tersebut. Ini sangat tidak fair! Mengapa hanya kasus mereka berdua yang diblow-up hingga ke asal-usul almamaternya. Selain mereka berdua, koruptor lain yang jauh lebih kakap tak pernah disinggung darimana kampusnya. Tak pernah saya membaca berita Nazaruddin, Miranda, Nunun, Burhanudin Abdullah, dan koruptor kakap lainnya dikait-kaitkan dengan kampus asal mereka.

Sebenarnya ada apa dengan STAN? Mengapa media gemar sekali memojokkan alumnus mereka? Media seolah tak lagi obyektif dalam memberitakan prestasi kampus ini. Ah sudahlah, saya memang alumni STAN. Jadi mungkin tulisan ini juga dinilai sebagai sesuatu yang subyektif.

Saya ingin sampaikan bahwa di KPK sendiri, sebagai institusi pemberantasan korupsi dengan integritas yang paling dipercaya publik, 70% personil di dalamnya diisi oleh para alumni STAN (Haryono Umar, 2011). Dua jilid kepemimpinan sebelumnya juga diisi unsur dari alumni STAN. Dengan fakta tersebut, apakah komitmen pemberantasan korupsi dari para alumni kampus ini masih akan diragukan?

Saya tidak menuntut Dhana dibebaskan dari sangkaannya. Silakan saja diusut, kalau salah ya dihukum. Kalau tidak, ya namanya harus direhabilitasi. Saya hanya menginginkan perlakuan yang adil dari penegak hukum dan media. Bagaimana kelanjutan kasus 80-an rekening gendut PNS yang kemarin digembar-gemborkan kepolisian? Bagaimana dengan ribuan transaksi mencurigakan anggota DPR yang terendus PPATK? Bagaimana penindakan kasus besar dengan pelaku “orang-orang besar” yang seolah kebal hukum itu? Semoga media massa, dengan kualitas yang terus diragukan, semakin arif dan bijak dalam menyampaikan dan mengawal kelanjutan kasus-kasus tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun