Mohon tunggu...
Suko Waspodo
Suko Waspodo Mohon Tunggu... profesional -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

amrih mulya dalem gusti

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Perdebatan tentang Aborsi

26 Agustus 2014   18:53 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:30 639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa waktu yang lalu pemerintah melalui menteri kesehatan Nafsiah Mboi menegaskan bahwa tidak ada peraturan pemerintah yang mengatur tentang aborsi. Aturan yang terbit adalah Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.

Nafsiah menyampaikan hal itu menanggapi munculnya polemik tentang legalisasi aborsi yang dikaitkan PP No 61/2014. ”Harus ditegaskan, aborsi tetap dilarang. Itu pidana, kecuali untuk dua hal, yaitu aborsi karena kedaruratan medis atau kehamilan akibat perkosaan,” tuturnya dalam jumpa pers di Kementerian Kesehatan, Jakarta, Selasa, 19 Agustus 2014 yang lalu.

Menurut Nafsiah, PP No 61/2014 yang merupakan amanat dari Undang-Undang No 36/2009 tentang Kesehatan itu sudah lama ditunggu. Aturan pelaksanaan itu mengatur bagaimana agar perempuan mendapat layanan kesehatan sehingga bisa hidup sehat, melahirkan generasi sehat dan bermutu, serta mengurangi angka kematian ibu.

Meski pemerintah telah menjelaskan secara panjang lebar tentang peraturan pemerintah mengenai kesehatan reproduksi tersebut namun tidak bisa dihindari berbagai reaksi muncul di masyarakat. Hal ini membuka lagi perdebatan lama tentang praktik aborsi.

Hippocrates (460-370 SM), seorang ahli medis terkemuka Yunani, tak mendukung praktik aborsi. “Aku tidak akan memberikan obat-obat yang mematikan, meski diminta, dan aku juga tidak akan memberikan nasihat seperti itu. Dengan cara yang sama, aku tidak akan memberikan obat-obatan kepada seorang perempuan yang bisa mengakibatkan aborsi,” tulis Hippocrates dalam On the Nature of the Woman. Tetapi praktik aborsi tetap berlangsung luas di Yunani.

Orang Yunani tidak memandang aborsi sebagai suatu pembunuhan atau perbuatan keji, apa pun metode aborsinya. “Tidak ada hukum yang mengatur mengenai aborsi dan negara hanya turun tangan apabila hal itu berkaitan dengan perlindungan atas hak tuan (pemilik) perempuan, dalam kondisi dia merdeka atau menjadi budak,” tulis Nikolaos A Vrissimtzis dalam Erotisme Yunani.

Beberapa filsuf cenderung toleran terhadap tindak aborsi. Plato (427-347 SM) berpendapat janin belum bisa dianggap sebagai manusia. Maka pengguguran janin tidak bisa dianggap sebagai perbuatan kriminal.

Ada juga para penentang tindak aborsi di Yunani. Mereka pengikut filsuf Phytagoras (582-496 SM). “Menurut mereka, nyawa atau jiwa manusia masuk ke tubuh sejak pembuahan. Kapan pun aborsi dilakukan, itu berarti penghilangan nyawa makhluk hidup,” tulis Kourkouta Lambrini dalam Views of Ancient People on Abortion, termuat di Health Science Journal Volume 7, tahun 2013. Tetapi filsuf lain, Aristoteles (384-322 SM), menolak pendapat itu.

Aristoteles menyatakan “Aborsi harus dilakukan sebelum janin bernyawa dan menendang (quickening).” Dia menggolongkan aborsi semacam itu sebagai pengendalian kelahiran. Hal ini sesuai dengan konsepnya tentang kota ideal. “Jika pembuahan berlangsung kala jumlah penduduk berlebih, aborsi bisa dilakukan,” tulis John Riddle dalam Contraception and Abortion from the Ancient World to the Renaissance. Asumsi Aristoteles tentang tahap perkembangan janin itu bertahan selama ratusan tahun.

Di wilayah Asia, praktik aborsi termuat dalam relief di Angkor Wat, Kamboja. Candi ini dibangun pada abad ke-12. “Relief aborsi tampak dalam panel tentang gambaran neraka tingkat 32. Seorang perempuan telentang; telanjang dengan tangan terikat; dan hamil 20 minggu. Ada seorang laki yang memijat perutnya menggunakan alu,” tulis Malcolm Potts dkk. dalam Thousand-year-old Depictions of Massage Abortion, termuat di The Journal of Family Planning and Reproductive Health Care. Orang-orang di Kepulauan Melayu dan Filipina juga mengenal pijat untuk praktik aborsi.

Penduduk setempat menganggap praktik aborsi sebagai kejadian biasa. “Dalam epik Sejarah Melayu (tahun 1612) pengguguran kandungan diterangkan sebagai kejadian biasa,” tulis Anthony Reid dalam Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga.

Pada awal abad ke-19, asumsi Aristoteles tentang janin mendapat serangan dari Ferdinand Kember, seorang dokter. Dia ragu bahwa tahap kehidupan janin dimulai pada hari ke-40 setelah pembuahan.

Menurut Kember, quickening bukan awal titik penting perkembangan bayi. “Penemuan Kember menyiratkan bahwa jiwa sudah ada saat pembuahan,” tulis Jeffrey H Reiman dalam Abortion and the Ways We Value Human Life. Maka praktik aborsi bisa dinilai sebagai pembunuhan manusia. Kelompok penentang aborsi pun beroleh angin. Di sejumlah negara, mereka menuntut pemerintah melarang tindak aborsi dengan hukum.

Sejumlah negara kemudian merumuskan aturan mengenai aborsi. Di Amerika Serikat, beberapa negara federal melarangnya. Koran-koran tak lagi bebas mengiklankan praktik aborsi. Sebagian lagi mengizinkan dengan beberapa syarat, misalnya tetap membolehkan aborsi terapetis (demi keselamatan ibu). Yang penting dilakukan secara medis.

Memasuki abad ke-20, gerakan pro-aborsi kembali menguat. Ini terkait dengan kemunculan gerakan dan gagasan femininisme di sejumlah negara barat. Menurut mereka, aborsi bukan soal kapan kehidupan dimulai, melainkan soal hak perempuan menentukan pilihannya.

Di Indonesia, undang-undang mengenai aborsi sudah ada sejak 1918. “Undang-undang ini membuat aborsi yang semata-mata bertujuan menggugurkan kandungan menjadi tindak kejahatan,” tulis Gayung Kasuma dalam Perilaku Aborsi di Jawa Masa Kolonial, termuat di Kota-Kota di Jawa. Pemerintah kolonial mengeluarkan undang-undang ini karena melihat praktik aborsi yang membahayakan nyawa perempuan, seperti cara pijat tradisional.

Undang-undang ini bertahan hingga kemerdekaan. Pemerintah melarang segala jenis praktik aborsi. Meski begitu, dukun dan dokter membuka praktik itu secara tertutup. Begitu terbongkar, praktik itu membuat geger. Seperti kasus Dokter CL Blume di Jakarta pada 1960-an. Dia didakwa membuka praktik aborsi selama tujuh tahun. Teknik aborsinya mengikuti teknik di negara Barat: menginjeksi pasien dengan pantopan yang mengandung morfin. “Tujuannya membuat kandungan mati lemas,” tulis Kompas, 16 Agustus 1969. Semua proses aborsi hanya memakan waktu 20 menit.

Hingga kini perdebatan soal aborsi masih berlangsung di banyak negara. Sementara perkembangan teknik aborsi begitu pesat. Cara pandang perempuan terhadap kehamilannya pun tak pernah seragam. Ada yang menikmatinya, ada pula yang tak menginginkannya sama sekali.

Demikianlah tulisan sederhana ini untuk sekedar berbagi informasi mengenai aborsi yang masih selalu menjadi perdebatan. Apa pun pendapat para filsuf dan para dokter ahli kesehatan reproduksi tentang aborsi, yang berhak menentukan hidup atau mati manusia adalah tetap Tuhan sebagai penciptanya.

Salam damai penuh cinta.

(Dari berbagai sumber)

***

Solo, Selasa, 26 Agustus 2014

Suko Waspodo

www.sukowaspodo.blogspot.com

Ilustrasi: historia.co.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun