Saya tidak pernah belajar secara khusus tentang filsafatdan teologi apalagi ilmu agama namun seringkali merasa aneh dengan pendapat banyak pejabat dan beberapa politisi praktis negeri ini yang mengaku dirinyaagamis. Saya juga sering mengikuti pendapat para pejabat maupun wakil rakyat yang tidak mengakui keberagaman. Para pemuka agama yang menjelekkan penganut agama atau kepercayaan lain.
Semestinya kita sadar bahwa negara dan bangsa Indonesia ini terbentuk oleh keanekaragaman suku, bangsa, budaya, norma-norma dan bahkan agama. Sungguh tidak manusiawi kalau setiap kali terjadi perbedaan pendapat, apalagi masalah keyakinan dan agama, lalu penyelesaiannya dengan kekerasan dan ketidakadilan. Bukankah dasar negara ini dengan jelas dan tegas menjamin keberagaman itu.
Lebih lanjut terlepas apakah negara ini menjamin keberagaman (pluralitas) atau tidak seharusnya kita sadar bahwa kita ini manusia yang diciptakan oleh Tuhan, dengan keunikan dan talentanya masing-masing. Tidak ada satu pun manusia yang diciptakan sama. Perbedaan itu sebanding dengan jumlah manusia yang ada. Perbedaan dan keberagaman adalah keniscayaan.
Sebagai manusia apalagi mengaku ber-Tuhan tetapi memusuhi perbedaan. Mengatakan mengimani Tuhan tapi membunuh manusia sesamanya. Menurut saya ini sungguh aneh. Saya mungkin bukan penganut agama yang baik, namun sungguh sering merasa sedih dan sekaligus cemas dengan pertikaian saling membunuh yang masih sering terjadi hanya karena perbedaan pendapat.
Masih sering terjadi yang dipersoalkan adalah masalah perbedaan keyakinan dan agama. Berbeda biarlah berbeda dan tidak akan mungkin bisa disamakan. Yang bisa kita samakan adalah cara pandang dan bagaimana kita menyikapiperilaku-perilaku yang tidak menghormati nilai-nilai manusia, apa pun agama dan keyakinannya.. Musuh bersama kita saat ini adalah palanggaran keadilan dan hak-hak asasi manusia. Tentu termasuk di dalamnya adalah korupsi yang akut di negeri ini.
Namun dibagian akhir tulisan pendapat singkat saya ini, saya ingin menegaskan juga bahwa pluralitas juga bukan berarti membenarkan kebebasan yang liar. Meskipun keberagaman kita harus diakui, kenyataan kita juga hidup dalam masyarakat yang memiliki kesepakatan tatanan. Kita masing-masing tidak hidup sendirian. Aku membutuhkan aku-aku yang lain dan aku-aku yang lain juga membutuhkan aku. Maka selama kita masih berada dalam masyarakat ini tatanan yang sudah disepakati mestidisadari dan ditaati.
Menyadari dan memahami pluralitas itu manusiawi.
Salam damai penuh cinta.
***
Solo, Rabu, 12 Februari 2014
Suko Waspodo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H