Mohon tunggu...
Suko Waspodo
Suko Waspodo Mohon Tunggu... profesional -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

amrih mulya dalem gusti

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi dan Oposisi

24 Agustus 2014   20:53 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:41 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14088664191624771780

Pergulatan politik di negeri ini pasca pemilihan presiden (pilpres) 2014 tidak kemudian mendadak berakhir bersamaan dengan rampungnya sengketa hasil pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK). Namun justru lembaran dinamika politik yang akan mewarnai perjalanan Indonesia lima tahun ke depan baru mulai terbuka. Hal ini terkait dengan sikap partai politik (parpol) pendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dalam Koalisi Merah Putih yang memilih untuk tetap solid.

Dengan bersikap demikian, mereka akan bersama-sama menjadi kekuatan oposisi besar terhadap pemerintahan baru yang akan dibentuk Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) dalam lima tahun mendatang beserta kekuatan parpol pendukungnya. Hal ini sangat menarik untuk dicermati.

Dalam pandangan politik, oposisi merupakan sesuatu hal yang wajar. Bahkan, dalam demokrasi dikenal istilah rechstaat (negara hukum) yang mengharuskanadanya pembatasan kekuasaan. Salah satu caranya adalah dengan pemisahan kekuasaan negara berdasar trias politica: legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Konsep ini dimaksudkan untuk menjamin tiap kekuasaan itu tidak melampaui kewenangannya, sehingga muncul checks and balances system.

Indonesia yang menganut sistem pemerintahan presidensial, implementasi koalisi versus oposisinya tidak berlangsung secara kaku seperti di negara dengan sistem parlementer. Dalam sistem presidensial seperti di negeri ini, posisi presiden tidak kalah dengan parlemen karena diangkat langsung oleh rakyat dan tidak dapat diberhentikan oleh parlemen. Karena itulah parlemen tidak bisa bertindak seenaknya sendiri.

Meskipun demikian, bukan berarti tidak terdapat peluang bagi kekuatan politik di luar kekuatan partai pemerintah (ruling party) untuk memainkan oposisi dalam bentuk lain, yakni checks and balances atau kekuatan penyeimbang dan pengawas. Dengan melalui kekuatan yang dibangun di parlemen, kekuatan oposisi dapat memainkan perannya untuk mengawasi jalannya pemerintahan, misalnya dalam menjalankan fungsi penganggaran maupun legislasi.

Dasar pemikirannya, sebersih apa pun pemimpin yang berkuasa, kekuasaan tetap akan mengikuti hukum alamnya: power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely. Dengan demikian, pilihan yang diambil Koalisi Merah Putih untuk bersama-sama menjadi kekuatan oposisi merupakan pilihan ideal dan bahkan bermanfaat untuk kelangsungan negara ini.

Terlebih lagi dengan 353 kursi DPR yang digenggamnya berhadapan dengan 207 kursi dari partai pendukung Jokowi-JK, mereka mempunyai sumber daya untuk tampil sebagai kekuatan penyeimbang dan pengontrol yang strategis terhadap langkah-langkah Jokowi-JK dalam menjalankan kekuasaannya. Hal inilah yang akan membuat pemerintahan baru nanti menjadi lebih hati-hati dalam menjalankan tugasnya.

Berdasar tradisi political behaviour selama ini, kenyataannya memang tidak mudah bagi parpol untuk berada di luar pemerintahan. Momen yang terbangun dalam Pilpres 2014 ini menjadi pintu masuk yang tepat untuk membawa tradisi baru berpolitik yang lebih dewasa: berjuang di luar maupun di dalam pemerintah sama-sama ideal dan terhormat.

Menghadapi kenyataan sekarang ini, parpol seperti Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tidak perlu tergoda bergabung dalam pemerintahan. Begitu pun Partai Gerindra, Partai Amanat Nasional (PAN), maupun Partai Demokrat.

Selanjutnya, pihak Jokowi-JK tidak perlu berambisi memperbesar dukungan di parlemen dengan mengiming-imingi satu atau dua partai yang sebelumnya berada di kubu Prabowo-Hatta agar bergabung dalam ruling party lewat barter kursi di kabinet. Lebih baik mereka memperkokoh kubu mereka sendiri agar lebih berkualitas dalam menjalankan perannya di pemerintahan.

Belajar dari pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, besarnya dukungan di parlemen ternyata tidak selaras dengan efektivitas pemerintahan. Apalagi, parpol yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih mempunyai visi yang berbeda dalam memandang bagaimana pemerintahan Indonesia ke depan.

Sebaliknya, Jokowi-JK semestinya tertantang untuk mengoperasionalkan gagasan Koalisi Rakyat yang mereka gaungkan selama kampanye. Walaupun hanya ditopang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai NasDem, Partai Hanura dan PKPI, mereka hendaknya tetap percaya diri selama menjalankan pemerintahan seperti yang diharapkan rakyat.

Selama tidak terpengaruh oleh kekuatan suprapolitik, baik dari dalam maupun luar negeri, Jokowi-JK tidak perlu cemas akan mendapat perlawanan oposisi di parlemen. Situasi inilah yang kita harapkan berlangsung di pemerintahan Jokowi-JK nanti.

Selamat berjuang Jokowi-JK dalam menjalankan pemerintahan baru. Selamat berjuang pula bagi Koalisi Merah Putih dalam beroposisi sehingga mampumenjadi kekuatan penyeimbang yang efektif.

Salam damai penuh cinta.

***

Solo, Minggu, 24 Agustus 2014

Suko Waspodo

www.sukowaspodo.blogspot.com

Ilustrasi: www.merdeka.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun