Mohon tunggu...
Suko Waspodo
Suko Waspodo Mohon Tunggu... profesional -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

amrih mulya dalem gusti

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sikap Tahu Diri dalam Toleransi

9 Agustus 2018   10:50 Diperbarui: 9 Agustus 2018   10:57 658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: geotimes

Tugas untuk mengusahakan suasana toleran, bebas, santai dan tenteram itu terutama memang menjadi beban negara. Namun perlu kita perhatikan bahwa pihak-pihak agama sendiri juga bertanggung jawab berat untuk menyumbang pada suasana baik itu.

Salah satu sikap yang harus dituntut dari semua agama ialah sikap tahu diri. Tahu diri berarti menyadari keterbatasannya sendiri, memahami bahwa pengetahuan kita senantiasa terbatas dan oleh karena itu kita sebaiknya jangan mencampuri urusan orang lain. To live and let live. 

Tahu diri mendasari sikap toleran yang sebenarnya. Tahu diri mengandung kesadaran bahwa meskipun kita yakin akan kebenaran agama kita, namun bukanlah urusan kita untuk mencampuri golongan yang tidak sepaham atau tidak seagama. 

Tahu diri - yang dekat dengan sikap Jawa yang namanya eling - bukan hanya suatu tuntutan kesopanan, melainkan merupakan tanda kesungguhan keyakinan beragama. Karena tahu diri berarti bahwa kita selalu ingat bahwa Allah masih lebih besar daripada kita.

Orang yang intoleran terhadap agama dan kebudayaan lain, adalah orang yang mengukur Allah pada kekerdilan otaknya sendiri; jadi orang yang belum tahu bahwa Allah di atas segala pengetahuan manusia. 

Orang yang tidak dapat membiarkan orang dan golongan lain beragama menurut keyakinannya sendiri sebenarnya menyekutukan Allah, karena merendahkan Allah pada tingkat pengertiannya sendiri. Sebaliknya, orang yang yakin akan keluhuran Allah akan membiarkan Allah sendiri menentukan sikap terhadap masing-masing manusia.

Agama-agama perlu mengembangkan sikap tahu diri di antara pemeluk-pemeluknya karena hanya sikap itulah mengizinkan untuk di satu pihak tidak mengkompromikan keyakinan agamanya sendiri, di lain pihak tidak merasa perlu mencampuri golongan lain. 

Orang yang tidak tahu diri, dan itulah yang biasanya disebut fanatik, adalah orang yang merasa diri sendiri menjadi Tuhan sehingga ia seenaknya saja mengutuk dan mengganggu orang yang berkeyakinan lain.

Kadang-kadang masalah pembauran dikemukakan dalam bentuk pertanyaan apakah tidak ada pertentangan antara loyalitas suatu kelompok terhadap bangsanya di di satu pihak dan terhadap agamanya di lain pihak. Masalah ini sebenarnya merupakan masalah semu. 

Masalah loyalitas itu hanya bisa muncul, kalau salah satu pihak mau memutlakkan diri. Tentu saja orang agama selalu akan berpegang pada patokan bahwa "manusia harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia", termasuk negara. Tetapi kalau kedua belah pihak tahu diri, konflik semacam itu tidak akan terjadi.

Jadi bukan hanya negara saja yang tidak boleh menegarakan semuanya. Melainkan agama juga tidak boleh mau mengagamakan semuanya. Agama juga tidak boleh menjadi totaliter, seakan-akan segala bidang kehidupan manusia secara eksklusif diatur oleh agama. 

Agama sendiri mengajarkan bahwa orang harus bertanggung jawab terhadap masyarakat dan tanggung jawab itu menuntut agar kita mengerti masyarakat dengan hukum-hukumnya, agar kita dapat bekerja sama dengan semua pihak, agar kita bersama semua warga masyarakat mencari kebijakan yang mendekatkan keadaan pada keadaan yang adil dan makmur.

Untuk mengembangkan sikap tahu diri itu, agama-agama sesungguhnya diharapkan mengembangkan suatu tata krama sopan santun pergaulan antar agama. 

Maksud tata krama sopan santun itu bukan untuk membatasi kebebasan masing-masing agama, melainkan untuk mencegah segala sikap yang tidak wajar, yang melupakan keseluruhan, yang akhirnya akan mengotori agama itu sendiri.

Orang agama yang tidak tahu sopan santun dan tidak sanggup menghormati pihak lain merupakan pemandangan yang memalukan. Tentu saja, tata krama sopan santun itu hanya dapat datang dari agama-agama itu sendiri, tidak dari pihak luar, karena kalau dipaksakan dari luar, justru tidak akan dihayati oleh mereka yang memerlukannya.

Demikian sedikit sharing tentang sikap tahu diri dalam toleransi. Semoga bisa bermanfaat bagi kita untuk memelihara keharmonisan hubungan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Salam damai penuh cinta.

***

Solo, Kamis, 9 Agustus 2018

Suko Waspodo

suka idea

antologi puisi suko

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun