(cerita mini non-fiksi)
Drrrrtt...drrrtttt... terbangun tidur siangku oleh bunyi getar dari smartphone-ku yang selalu kuletakkan di samping bantal saat aku tidur siang. Aaaahh, paling juga obrolan dari grup Whatsapp temin-teman sesama alumni sekolahku dulu, yang kadang tak penting-penting amat. Â Atau dari sahabat-sahabat dimana aku sering berbagi link tulisanku di Kompasiana.
Dengan tanpa antusias aku buka kiriman obrolan di Whatsapp-ku. Seperti sudah kuduga memang hampir semuanya dari sesama alumni dan para sahabat yang suka menikmati tulisanku.
"Apa rencana kegiatan kita di peringatan Idul Adha nanti," tanya Bambang di grup alumni SMA-ku. Lalu disambut dengan banyak tanggapan dari temin-teman di grup itu. Bermacam usulan disampaikan.
"Kita ketemu saja nanti malam rapat tipis santai di cafe wedangan," Â ajak Bambang. Maklum saja adik kelasku ini memang sangat sosial alias tidak pelit.
"Teman-teman yang ada waktu luang  silahkan merapat nanti malam pukul delapan, sekalian kita sing songs," Bambang mempertegas ajakannya.
Begitulah sedikit cuplikan obrolan yang aku baca di grup alumni. Selalu ada hal-hal serius yang kami rencanakan dan akan ditindak lanjuti di sela-sela obrolan santai kami.
Tetapi ada yang tidak biasa di WA-ku kali ini. Menyelonong pesan dari seorang teman guru pria di mana kami pernah mengajar di sekolah yang sama sekitar dua puluh lima tahun yang lalu. Sebenarnya aku tidak menyimpan nomer kontaknya tetapi dari foto diri yang dia tampilkan aku jadi ingat siapa dia.
"Selamat sore pak Suko, aku nyuwun pengestu ya (mohon doa restu) jadi caleg dapil titik-titik, partai titik-titik no enam,"  ternyata pesan minta dukungan nanti saat pemilu. Wooow... cara kampanye murah meriah.
"Amplop untuk dukungannya ya?...he..he..he..", begitu aku tanggapi pesannya dengan kesan bercanda walau dalam hati aku serius.
Drrrrttt.... getar pesan jawaban masuk darinya menampilkan gambar kecil-kecil dua telapak tangan menempel serta gambar tepuk tangan. Itu saja.