Perbedaan pendapat merupakan suatu hal yang wajar dalam kehidupan, demikian juga dalam dunia politik. Perbedaan pendapat yang wajar dalam dunia politik biasanya berujung pada kritik konstruktif dan pemberian solusi terhadap persoalan yang menimbulkan perbedaan.
Di lain pihak kebencian merupakan perilaku yang negatif yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Sungguh tidak wajar apabila orang yang berbeda pendapat atau berperilaku belum benar lalu membabi buta dibenci. Kebencian biasanya berujung pada perilaku atau ucapan nyinyir dan bahkan semakin parah menjadi fitnah.
Kali ini kita akan mengamati tentang kebencian saja yang memang cenderung negatif dan destruktif. Kebencian membuat siapa pun yang terkena akan menjadi lupa diri serta kehilangan kendali.
Contoh nyata perilaku lupa diri karena kebencian inilah yang menjangkiti para politisi busuk negeri ini. Ambisi kekuasaan yang akut membuat mereka membenci siapa pun yang menghalangi mereka untuk meraih kekuasaan. Mereka lupa diri atau pura-pura lupa bahwa pemerintahan dimana mereka tidak mampu menguasainya dan mereka anggap penghalang mereka adalah pemerintahan yang sah. Pemerintahan yang dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu yang demokratis.
Seorang guru besar dari perguruan tinggi terkemuka di negeri ini berperilaku ngawur dan asal njeplak. Seorang yang sudah tua bangka alias sudah bau tanah tetapi tidak pernah berperilaku ilmiah. Guru besar sejati semestinya berpikir dan bertindak dengan wawasan keilmuan, tetapi tidak demikian dengan guru besar yang satu ini. Dia sering omong nyinyir, asal-asalan tanpa data dan cenderung memfitnah. Dia memfitnah presiden Jokowi melakukan pengibulan terhadap rakyat. Memfitnah pemerintahan Jokowi melakukan hutang besar-besaran dan menggadaikan negeri ini.
Profesor Sengkuni ini adalah bukti nyata seorang politisi yang tidak konsisten dan berwatak busuk. Jauh sebelum gerakan reformasi '98, dialah orangnya yang selalu menyarankan lewat organisasi cendekiawan muslim agar mendukung Soeharto, namun setelah terjadi gelombang gerakan rakyat untuk menggulingkan Soeharto, dia malah melawan Soeharto.  Dia pula yang meminta agar Prabowo diseret ke  Mahkamah Peradilan HAM Internasional karena Prabowo adalah dalang kerusuhan '98, namun kemudian sampai saat ini dia pendukung utama Prabowo.
Si profesor culas ini lebih berbahaya lagi sering berperilaku seolah-olah dirinya Tuhan. Seorang yang merasa kewahyon, mendapat wahyu Tuhan, untuk memiliki kuasa mengganti presiden.
Merasa diri dan partai-partai di sekelilingnya sebagai partai Allah padahal perilakunya selalu kesetanan. Sementara partai pemerintah dan partai-partai pendukung pemerintah dituduh oleh dia sebagai partai Setan, padahal justru partai-partai di pemerintahan ini sudah sungguh nyata berpihak kepada rakyat dan menghayati serta mengamalkan Pancasila yang berarti berketuhanan. Itulah sebagian kecil  dari contoh nyata perilaku lupa diri dari si guru besar koplak.
Belum lama ini juga terungkap perilaku busuk dari seorang yang mengaku sebagai guru besar filsafat dari perguruan tinggi nomer satu negeri ini. Padahal dengan tegas pihak perguruan tinggi yang diaku sebagai tempat dimana dia mengajar menyatakan bahwa dia bukan dosen di situ. Omongan ngawurnya di acara ILC selalu dielu-elukan oleh para penyinyir.
Perilakunya yang paling parah adalah saat dia mengatakan bahwa kitab suci adalah fiksi. Hanya karena ingin membela seorang yang menggunakan novel fiksi sebagai acuan pendapat menilai pemerintah, guru besar abal-abal ini jadi lupa diri. Kepalsuan memang tidak akan selamanya bisa disembunyikan.
Siapa pun yang berambisi memang cenderung lupa diri, berlagak lupa terhadap rekam jejaknya. Pelaku penculikan, penganiayaan dan pembunuhan serta kerusuhan di masa lalu dan bahkan pernah melarikan diri ke luar negeri tetapi kemudian saat ini mengaku sebagai pejuang pembela rakyat. Penindas karyawan di perusahaan yang dimilikinya tetapi  gembar-gembor akan menjadi pemimpin yang  mensejahterakan rakyat.