Segala daya upaya untuk membatalkan hasil pemilihan umum presiden dan wakil presiden (pilpres) 2014 masih terus dilakukan. Setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh gugatan perselisihan hasil penghitungan suara pilpres, kini kubu pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa kembali mewacanakan pembentukan panitia khusus (pansus) pertanggungjawaban pilpres di DPR. Banyak kalangan yang meragukan pansus pilpres ini akan bergulir mudah di tengah perubahan konstelasi politik setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) sebagai pemenang pilpres pada 22 Juli 2014. Bahkan keputusan KPU itu kemudian semakin dikuatkan oleh putusan MK pada 21 Agustus lalu.
Wacana pembentukan pansus pilpres telah digulirkan kubu Koalisi Merah Putih, yang mendukung pasangan Prabowo-Hatta, sebelum MK membacakan putusan sengketa pilpres. Waktu itu, tim kampanye nasional dan relawan Prabowo-Hatta menemui pimpinan DPR untuk mendorong parlemen agar membentuk pansus pilpres. Mereka mengatakan bahwa pelaksanaan pilpres 2014 penuh dengan kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis dan masif.
Dengan alasan tersebut, tim kampanye nasional dan relawan Prabowo-Hatta menyampaikan tuntutan, yakni mosi tidak percaya kepada KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Dua lembaga itu dinilai tidak independen dalam menyelenggarakan pilpres. Selain itu, tim kampanye dan relawan mendesak Komisi II DPR untuk segera membentuk Pansus Pertanggungjawaban KPU dan Bawaslu pada Pilpres 2014.
Dalam hal ini pembentukan pansus, termasuk pansus pilpres, memang menjadi hak konstitusional para anggota dewan. Sesuai dengan peraturan, pansus dapat dibentuk asalkan ada usulan dari minimal 25 anggota DPR dari dua fraksi. Usulan itu kemudian disampaikan pada rapat paripurna DPR untuk kemudian diambil keputusan apakah pansus bisa dibentuk atau tidak.
Banyak kalangan yang menilai bahwa pembentukan pansus pertanggungjawaban pilpres hanya akal-akalan Koalisi Merah Putih. Pembentukan pansus dinilai hanya sebagai upaya koalisi menunjukkan kepada publik bahwa mereka solid dan tidak terpecah belah ke kubu lawan. Di sisi lain, kubu Koalisi Merah Putih tidak bisa menjelaskan secara terperinci tentang tujuan akhir dari usulan pembentukan pansus itu.
Apabila tanpa tujuan akhir yang bisa diterima oleh alam pikiran publik, pansus akan dianggap sekedar manuver politik dari pihak-pihak yang kalah bertarung pada pilpres lalu. Tanpa kejelasan maksud pembentukan pansus, publik akan menilai kalau para pengusul sekedar ingin membuat ricuh situasi politik pasca pilpres. Publik akan menilai pembentukan pansus sebagai upaya balas dendam Koalisi Merah Putih di DPR setelah gagal ketika menempuh jalur MK.
Kita tentu saja sepakat bahwa pelaksanaan pilpres yang lalu masih memiliki banyak kekurangan, terutama kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara. Hal itu dikuatkan oleh keputusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Ketua DKPP Jimly Asshiddiqie dan empat anggota DKPP lainnya memutuskan untuk memberhentikan sembilan anggota KPU dan Bawaslu/Panwaslu serta memberikan sanksi teguran untuk 30 anggota lainnya. Sembilan orang yang diberhentikan itu adalah 5 anggota KPU Kabupaten Dogiai, Papua, 2 anggota KPU Serang, Banten, dan 2 anggota KPU Banyuwangi, Jawa Timur. Sedangkan, Ketua KPU Husni Kamil Manik dan Ketua Bawaslu Muhammad mendapat teguran. Dalam beberapa aduan, keduanya dianggap terbukti melanggar kode etik dalam kadar yang ringan.
Namun demikian, kita tentu tidak sepakat jika kesalahan-kesalahan KPU dan Bawaslu itu dijadikan alasan untuk membentuk pansus. Ujung dari pansus adalah rekomendasi dari Dewan tentang langkah-langkah hukum yang bisa diambil oleh pihak-pihak terkait. Tetapi, di sisi lain, sudah ada putusan MK yang bersifat final dan mengikat atas dugaan pelanggaran pilpres yang dituduhkan kepada KPU. Artinya, pembentukan pansus akan sia-sia karena tidak bisa mengubah hasil pilpres.
Sungguh bisa kita sepakati bahwa pelaksanaan pemilu, baik pilpres atau pemilihan anggota legislatif (pileg), perlu dibenahi lagi. Namun, setelah ada putusan MK, langkah pembenahan itu tidak pas jika dibawa ke pansus. Kepedulian para politisi Senayan terhadap upaya perbaikan pemilu cukup digelar dalam forum rapat dengar pendapat bersama KPU, Bawaslu, dan institusi lain yang terkait. Dengan cara seperti itu, DPR bisa melihat persoalan pemilu secara menyeluruh, mulai dari persiapan data kependudukan yang berujung pada persoalan dalam membuat daftar pemilih hingga persoalan luas wilayah Indonesia, yang mengakibatkan sulitnya mengirim logistik pemilu.
DPR bersama-sama KPU, Bawaslu, dan institusi terkait justru harus duduk bersama untuk membenahi pelaksanaan pemilu. Bila perlu, mereka menyiapkan rancangan perubahan paket UU yang terkait dengan pelaksanaan pemilu, bukan saling menyalahkan.
Salam damai penuh cinta.
***
Solo, Rabu, 27 Agustus 2014
Suko Waspodo
Ilustrasi: www.merdeka.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H