Mohon tunggu...
Suko Waspodo
Suko Waspodo Mohon Tunggu... profesional -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buruh Pendidikan, Penikmat Seni dan Pengamat Kehidupan.\r\n"Rahasia hidup bukanlah melakukan apa yang kita sukai, tetapi menyukai apa yang harus kita lakukan"\r\n \r\nwww.sukowaspodo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Lembar Kerja Siswa (LKS), Pembodohan dan Bisnis Berkedok Pendidikan

22 April 2012   11:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:17 1398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1335103238460778982

[caption id="attachment_183570" align="aligncenter" width="400" caption="Ilustrasi (M. LATIEF/KOMPAS.com)"][/caption] Penggunaan LKS di sekolah merupakan bentuk pembodohan. Mengapa demikian? Karena para murid maupun siswa/i hanya belajar menjawab soal pertanyaan dengan jawaban yang sudah diarahkan, multiple choices. Mereka tidak pernah belajar mempertajam penalaran mereka dengan soal uraian. Selanjutnya, soal-soal yang digunakan juga itu-itu saja, hanya diambil secara acak dari soal-soal tahun-tahun sebelumnya. Dalam kegiatan belajar mengajar pun, berlangsung proses pembodohan. Para peserta didik tidak mengalami proses peningkatan kecerdasan maupun ketrampilan. Guru cenderung hanya memberikan LKS dan menyuruh para siswa atau murid mengerjakannya. Penyelesaian hanya menurut kunci jawaban yang ada. Guru tidak menjelaskan materi pelajaran melainkan hanya mengajarkan cara menyiasati penyelesaian soal LKS. Guru juga menjadi tidak kreatif karena jarang membuat materi soal pertanyaan sendiri. LKS ini juga merupakan bentuk bisnis berkedok pendidikan. Setiap mata pelajaran/bidang studi harus ber-LKS, bahkan bisa lebih dari satu macam LKS dari percetakan yang berbeda. Setiap siswa/murid harus memiliki (membeli) LKS. Sekolah dan para guru pasti selalu didatangi dan dirayu oleh percetakan melalui para salesman/saleswoman untuk menggunakan LKS buatan mereka, dengan iming-iming "komisi" untuk setiap LKS yang digunakan. Akibatnya siswa/murid dibebani dengan biaya pembelian LKS. Bukankah ini penindasan? Kita mesti kritis terhadap kenyataan ini. Sekolah (formal) diselenggarakan mestinya untuk mencerdaskan rakyat (manusia), bukan menjadikan mereka obyek bisnis. Negara ini sudah dikelola oleh para makelar, demikian juga institusi pendidikan formal kita. Untuk mengembalikan tujuan pendidikan yang sebagaimana mestinya tidak ada cara lain kita mesti hancurkan makelarisasi pendidikan ini. Langkah awalnya dengan menghapuskan penggunaan LKS yang bukan hasil kreatifitas guru yang bersangkutan. Semoga apa yang saya ungkapkan ini bisa menjadi bahan refleksi kita bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun