Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang seharusnya menjadi representasi utama dari suara rakyat, kini sering kali dipandang dengan skeptisisme dan ketidakpercayaan. Seiring waktu, berbagai skandal korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan umum telah menciptakan persepsi negatif terhadap lembaga legislatif ini. Kondisi ini dikenal sebagai "pembusukan DPR," di mana integritas dan kredibilitas DPR tergerus oleh kepentingan politik sempit dan praktik yang tidak etis.
Di tengah pembusukan ini, muncul fenomena yang disebut sebagai "parlemen jalanan," yaitu gerakan rakyat yang secara langsung menyuarakan aspirasi mereka di jalanan ketika saluran resmi tidak lagi mampu mewakili kepentingan mereka. Artikel ini akan mengeksplorasi bagaimana pembusukan DPR telah memicu munculnya parlemen jalanan, serta implikasi dari dinamika ini bagi demokrasi di Indonesia.
Pembusukan DPR: Ketika Kepentingan Rakyat Terpinggirkan
DPR adalah lembaga yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Namun, realitas di lapangan sering kali berbeda. Banyak wakil rakyat yang terlibat dalam praktik-praktik korupsi, menerima suap, atau mengedepankan kepentingan pribadi dan golongan di atas kepentingan umum. Dalam beberapa dekade terakhir, publik telah disuguhi berbagai skandal yang melibatkan anggota DPR, mulai dari kasus suap hingga penyelewengan anggaran.
Pembusukan DPR juga terlihat dalam pembuatan kebijakan yang sering kali tidak mencerminkan aspirasi rakyat. Beberapa undang-undang kontroversial, yang dihasilkan tanpa konsultasi publik yang memadai atau transparansi dalam proses legislasinya, telah menimbulkan reaksi keras dari masyarakat. Ketika DPR lebih sibuk mengurus kepentingan elit politik dan korporasi daripada menyelesaikan masalah mendesak yang dihadapi oleh rakyat, kepercayaan publik pun terkikis.
Parlemen Jalanan: Rakyat Mengambil Alih Demokrasi
Ketika DPR gagal memenuhi fungsinya, rakyat tidak tinggal diam. Parlemen jalanan muncul sebagai respon terhadap kegagalan institusi formal dalam mewakili kepentingan mereka. Demonstrasi, unjuk rasa, dan aksi massa menjadi alat bagi rakyat untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka dan menuntut perubahan.
Fenomena parlemen jalanan mencerminkan kekuatan rakyat yang bersatu dalam menghadapi ketidakadilan. Gerakan ini sering kali berhasil menekan pemerintah dan DPR untuk mempertimbangkan ulang kebijakan yang diambil. Misalnya, dalam kasus Rancangan Undang-Undang (RUU) yang kontroversial, aksi-aksi protes yang masif sering kali memaksa DPR untuk menunda atau bahkan membatalkan pengesahan undang-undang tersebut.
Namun, parlemen jalanan juga membawa tantangan tersendiri. Aksi massa yang besar dan tidak terorganisir dengan baik bisa berpotensi menimbulkan kekacauan atau bahkan kekerasan. Selain itu, tanpa mekanisme formal yang jelas, suara-suara dari parlemen jalanan bisa saja diabaikan atau disalahartikan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Oleh karena itu, penting bagi gerakan-gerakan ini untuk tetap terorganisir dan fokus pada isu-isu substantif yang ingin diperjuangkan.
Membangun Kembali Kepercayaan terhadap DPR