Mohon tunggu...
Suko Waspodo
Suko Waspodo Mohon Tunggu... Dosen - Pensiunan dan Pekerja Teks Komersial

Aku hanya debu di alas kaki-Nya

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ilusi Kesepakatan Universal, Melarikan Diri dari Ruang Gema Digital

23 Agustus 2024   09:58 Diperbarui: 23 Agustus 2024   23:14 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: NPR.org

Memahami Efek Konsensus Palsu di Era Media Sosial

Wawasan Utama

  • Efek konsensus palsu membuat kita melebih-lebihkan seberapa luas pandangan kita dibagikan.
  • Bias ini dapat menciptakan rasa validasi yang salah, meyakinkan kita bahwa keyakinan kita lebih umum daripada yang sebenarnya.
  • Strategi untuk memerangi efek ini termasuk mencari perspektif yang beragam, mempraktikkan empati digital, merefleksikan bias, dan memanfaatkan analisis data.

"Kita melihat dunia bukan sebagaimana adanya, tetapi sebagaimana kita adanya." - Anais Nin

Di dunia media sosial yang luas dan terus berubah, mudah untuk terjebak dalam keyakinan bahwa pikiran dan pendapat kita dibagikan secara universal. Tetapi bagaimana jika kenyataannya sangat berbeda? Bagaimana jika kita terperangkap dalam bias kognitif yang mendistorsi persepsi kita tentang realitas? Bias ini dikenal sebagai efek konsensus palsu---fenomena psikologis di mana individu secara keliru berasumsi bahwa keyakinan mereka lebih banyak dianut daripada yang sebenarnya. Efek ini bukan sekadar keanehan mental yang aneh; hal ini memiliki implikasi yang signifikan terhadap cara kita berinteraksi daring dan memahami dunia di sekitar kita.

Keajaiban Kesepakatan: Bagaimana Media Sosial Memperbesar Efek Konsensus Palsu

Efek konsensus palsu sangat kuat di media sosial, di mana faktor kognitif dan teknologi ikut berperan. Saat kita berinteraksi dengan konten daring, kita secara alami menafsirkannya melalui lensa pengalaman kita sendiri, yang mengarah pada bias egosentris. Pada saat yang sama, algoritme media sosial---yang dirancang untuk membuat kita tetap terlibat---cenderung memberi kita lebih banyak konten yang sudah kita setujui, menciptakan lingkaran umpan balik yang memperkuat keyakinan kita yang ada. Efek ruang gema ini dapat membuat kita percaya bahwa pandangan kita tidak hanya valid tetapi juga tersebar luas, bahkan ketika pandangan tersebut mungkin jauh dari arus utama.

Psikologi di Balik Konsensus Palsu Digital

Efek konsensus palsu pertama kali diidentifikasi oleh psikolog sosial Lee Ross pada tahun 1970-an, tetapi di dunia yang sangat terhubung saat ini, efek ini menjadi lebih meluas. Ketergantungan kita pada media sosial untuk mendapatkan informasi memaparkan kita pada versi realitas yang dikurasi---yang mencerminkan preferensi kita daripada keragaman pendapat yang sebenarnya yang ada. Kebutuhan akan validasi sosial semakin memperburuk bias ini, karena like dan share yang kita terima dapat membuat kita merasa bahwa pendapat kita tidak hanya populer tetapi juga diterima secara universal.

Konsekuensi Dunia Nyata dari Efek Konsensus Palsu

1. Interaksi Daring yang Miring: Efek konsensus palsu dapat menyebabkan persepsi yang menyimpang dalam percakapan digital kita. Misalnya, ketika kita mengadvokasi suatu tujuan di media sosial, kita mungkin berasumsi bahwa pengikut kita memiliki antusiasme yang sama, tetapi kemudian terkejut dengan pandangan yang berlawanan. Kesenjangan ini dapat mempersulit dialog yang bermakna, karena kita berjuang untuk mendamaikan harapan kita dengan kenyataan dari berbagai pendapat yang beragam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun