Mohon tunggu...
Suko Waspodo
Suko Waspodo Mohon Tunggu... Dosen - Pensiunan dan Pekerja Teks Komersial

Aku hanya debu di alas kaki-Nya

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Dari Naluri ke Wawasan: Membuat Pilihan Berbasis Bukti dalam Hubungan

22 Juli 2024   12:09 Diperbarui: 22 Juli 2024   12:15 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Bustle

Wawasan Utama

  • Penilaian intuitif membahayakan persahabatan, menyebabkan kesalahpahaman dan konflik.
  • Perasaan tidak enak dalam perekrutan melanggengkan bias, menghambat praktik yang adil, dan merusak tempat kerja.
  • Memercayai firasat awal dapat menyebabkan ketidakcocokan dan tingkat perceraian yang tinggi, sehingga menantang kecocokan.
  • Mengurangi bias kognitif akan meningkatkan hasil pengambilan keputusan pribadi dan profesional.

Kita sering kali didorong untuk memercayai naluri kita dan mengikuti intuisi kita, terutama dalam hubungan kita. Nasihat ini meresap ke dalam proses pengambilan keputusan kita, memengaruhi cara kita memilih pasangan, teman, rekan bisnis, afiliasi komunitas, dan bahkan kandidat politik. Namun, meskipun mengikuti naluri kita mungkin terasa alami dan nyaman, pendekatan ini sering kali membawa akibat yang buruk.

Jebakan Perasaan dalam Hubungan

Ketika berbicara tentang hubungan romantis, banyak yang percaya bahwa "orangnya" akan membuat mereka merasa berdebar-debar. Kita memilih teman berdasarkan intuisi, tertarik pada orang yang langsung cocok dengan kita dan melakukan percakapan yang mudah dan nyaman. 

Dalam bisnis, kita sering kali memutuskan dengan siapa kita akan bermitra atau merekrut dengan mengevaluasi reaksi naluri kita, memercayai mereka yang secara intuitif tampak layak. Pilihan kita terhadap komunitas agama atau sekuler, serta dukungan politik kita, juga didorong oleh naluri kita. "Tes bir" yang terkenal---yang menentukan kandidat politik mana yang ingin kita ajak minum bersama---adalah contoh utama dari proses pengambilan keputusan yang intuitif ini.

Sayangnya, ketergantungan pada firasat sering kali membawa hasil buruk dalam hubungan kita. Perhatikan statistik yang mengkhawatirkan bahwa lebih dari 40 persen perkawinan berakhir dengan perceraian. Memercayai intuisi kita dan memilih pasangan berdasarkan sensasi awal yang berdebar-debar dapat berkontribusi secara signifikan terhadap tingginya angka ini. Penelitian menunjukkan bahwa kesan pertama kita sering kali salah, sehingga menyebabkan ketidakcocokan kemitraan yang akhirnya rusak seiring berjalannya waktu.

Persahabatan juga tidak kebal terhadap jebakan intuisi. Miskomunikasi dan kesalahpahaman, sering kali berasal dari tanggapan naluri terhadap apa yang dibagikan teman kita, dapat mengakibatkan pertengkaran yang tidak perlu, perasaan terluka, dan bahkan putusnya persahabatan. Kemudahan dan kenyamanan yang awalnya kita rasakan dapat dengan cepat berubah menjadi perselisihan ketika reaksi naluri menyesatkan kita.

Dunia Bisnis dan Bias Intuitif

Dalam dunia bisnis, mengandalkan firasat dapat mendorong praktik diskriminatif dan merusak hubungan profesional. Misalnya, sebuah penelitian menemukan bahwa perekrut yang memiliki asosiasi negatif yang kuat terhadap laki-laki Arab-Muslim cenderung tidak menawarkan wawancara kepada mereka. Studi lain mengungkapkan bahwa perusahaan yang terlalu menghindari risiko cenderung tidak mempekerjakan laki-laki gay. Bias ini, yang didorong oleh penilaian intuitif, menciptakan hambatan terhadap praktik perekrutan yang adil dan merata.

Pengambilan keputusan politik juga penuh dengan bahaya pemikiran intuitif. Memilih kandidat berdasarkan kesukaan pribadi dan bukan efektivitas kebijakan dapat menyebabkan tata kelola yang tidak optimal. Preferensi terhadap kandidat yang lebih kita sukai daripada mereka yang akan merumuskan kebijakan terbaik untuk negara kita merupakan contoh dari masalah ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun