Mohon tunggu...
Suko Waspodo
Suko Waspodo Mohon Tunggu... Dosen - Pensiunan

Aku hanya debu di alas kaki-Nya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dampak Komunikasi Digital terhadap Regulasi Emosi Interpersonal

8 Juni 2024   16:35 Diperbarui: 8 Juni 2024   17:20 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Verywell Mind

Di era digital saat ini, meningkatkan kesehatan mental dan kesejahteraan yang positif bergantung pada membantu individu mengatur emosi mereka secara efektif. Tujuan utama psikoterapi dan interaksi sosial sehari-hari adalah untuk membantu individu dalam mengenali dan mengelola emosi mereka. Terapi tradisional dan pendekatan sehari-hari sering kali berfokus pada menghilangkan emosi atau meningkatkan penerimaan sambil melakukan aktivitas bermakna lainnya. Tersirat dalam metode ini terdapat dua asumsi utama: emosi dipandang sebagai masalah, dan pengelolaannya sepenuhnya merupakan tanggung jawab individu.

Namun, premis-premis ini mungkin tidak benar. Emosi itu sendiri mungkin bukan masalahnya, dan individu tersebut mungkin tidak selalu menjadi orang terbaik untuk mengaturnya. Oleh karena itu, memahami bagaimana memfasilitasi regulasi emosi antarpribadi sangat penting untuk meningkatkan kesehatan psikologis. Mengingat prevalensi komunikasi media sosial, ada baiknya mengkaji apakah interaksi digital dapat mendukung peraturan ini.

Ketika faktor-faktor lain dianggap berperan penting dalam mengatur emosi, elemen penting dalam modulasi pengaruh adalah ekspresi dan komunikasi yang tepat dari emosi-emosi tersebut. Komunikasi emosional yang jelas memungkinkan perasaan seseorang untuk dipahami oleh orang lain, yang kemudian dapat bertindak sebagai "lobus frontal eksternal" untuk membantu mengatur emosi orang pertama.

Jika kita melakukan pendekatan terhadap regulasi emosi dengan cara ini, maka masalahnya bukan pada keberadaan emosi tersebut, melainkan bagaimana mengkomunikasikannya secara efektif kepada orang lain. Hal ini memastikan penerimanya tidak takut dan dapat membantu mengatur emosinya. Konsep ini melibatkan pemahaman hubungan antara perasaan internal (emosi) dan manifestasi lahiriahnya (ekspresi atau komunikasi). Meskipun ini mungkin bukan konseptualisasi yang sepenuhnya akurat, namun tidak dapat disangkal bahwa transmisi ke orang lain sangatlah signifikan.

Komunikasi emosional interpersonal itu kompleks dan bergantung pada lebih dari sekedar pertukaran verbal. Platform digital sering kali membatasi isyarat visual dan non-verbal, sehingga menyulitkan sebagian orang untuk mengomunikasikan emosi mereka sepenuhnya. Masalahnya mungkin bukan kegagalan dalam mengenali emosi, namun kurangnya akses terhadap isyarat atau teknik penting untuk mengomunikasikan emosi secara efektif. Hambatan komunikasi ini dapat merugikan individu, mempersulit mereka untuk terlibat dalam pengaturan emosi antarpribadi dan menyebabkan tampilan emosi yang tampaknya tidak pantas.

Mengingat kompleksitas tersebut, muncul beberapa pertanyaan terkait media sosial dan platform komunikasi digital. Dapatkah komunikasi digital membantu mendiskusikan dan mengatur emosi? Apakah hal ini memfasilitasi pengaturan emosi antarpribadi? Jika hal ini menghalangi komunikasi yang jelas tentang perasaan, apakah hal ini membuat emosi menjadi tidak tepat, sehingga mengganggu pengendalian emosi? Jika demikian, tidak mengherankan jika penggunaan digital secara berlebihan dapat membahayakan kesehatan mental, mengingat pentingnya pengaturan emosi dan komunikasi.

Banyak grup online dan media sosial yang berdedikasi untuk mendiskusikan kesehatan mental dan kesejahteraan, dan popularitas mereka menunjukkan bahwa pengguna mendapatkan manfaat. Namun, meskipun ada perdebatan mengenai apakah kelompok-kelompok ini memperburuk kesehatan mental, hanya ada sedikit bukti bahwa kelompok-kelompok tersebut berdampak positif terhadap kesejahteraan emosional dan mental. Hal ini mungkin disebabkan oleh cara komunikasi terjadi di dunia digital.

Kebanyakan komunikasi digital bersifat singkat. Meskipun pesan singkat dapat menyampaikan kehadiran suatu emosi, pesan tersebut sering kali kurang memiliki nuansa yang diperlukan untuk pemahaman emosional yang lebih dalam. Misalnya, emoji mungkin menyampaikan emosi dasar seperti kebahagiaan atau kemarahan, tetapi gagal mengomunikasikan seluk-beluk pengalaman emosional.

Seringkali, komunikasi digital menghasilkan transmisi emosi langsung kepada penerimanya. Pesan kemarahan dapat membangkitkan kemarahan pembaca, sehingga mengarah pada siklus penularan emosi yang tidak menumbuhkan pemahaman atau empati. Hal ini dapat mengakibatkan pelepasan, terutama emosi negatif yang akan mendapat manfaat dari regulasi antarpribadi. Mengembangkan empati emosional---memahami emosi orang lain dan konteksnya---membutuhkan komunikasi yang lebih lama dan lebih bernuansa dibandingkan yang biasanya dimungkinkan oleh platform digital.

Jika komunikasi digital tidak cocok untuk ekspresi emosi yang dapat diterima, maka akan sulit untuk merekrut orang lain untuk mengatur emosi melalui cara-cara ini. Keterbatasan ini dapat menghambat efektivitas pengaturan emosi interpersonal di ranah digital. Meskipun komunikasi emosional digital dapat ditingkatkan dengan menginvestasikan lebih banyak waktu dan pemikiran dalam mengekspresikannya, interaksi digital sehari-hari, khususnya di media sosial, dapat merugikan individu dalam strategi pengaturan emosi mereka.

***

Solo, Sabtu, 8 Juni 2024. 4:29 pm

Suko Waspodo

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun