Generasi yang takut pada orang tuanya kini takut pada anak-anaknya.
Wawasan Utama
* Â Â Ada tren peningkatan keterasingan orang tua dalam keluarga modern.
* Â Â Sebagian besar generasi milenial menolak metode pengasuhan berbasis rasa takut.
* Â Â Generasi yang tadinya takut pada orang tua kini takut dikucilkan oleh anak-anaknya.
Para ahli mengamati peningkatan yang meresahkan dalam jumlah anak-anak dewasa yang memutuskan hubungan dengan orang tua mereka. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa 26% orang dewasa muda merasa terasing dari ayah mereka, dan 6% dari ibu mereka. Orang tua sering kali merasa tidak berdaya karena keterasingan ini, merasa sakit hati dan bingung.
Baby boomer, yang dibesarkan oleh "Generasi Terbesar"---mereka yang mengalami Depresi Besar dan Perang Dunia II---mengalami pendidikan yang ketat dan otoriter. Generasi tua ini percaya pada pepatah bahwa "anak-anak harus dilihat dan tidak didengar", dan hukuman fisik adalah metode pendisiplinan yang umum. Ketakutan orang tua, khususnya ayah, merupakan hal yang lumrah bahkan dianggap perlu untuk menanamkan kedisiplinan dan karakter. Banyak generasi boomer menceritakan bahwa ketakutan mereka terhadap otoritas orang tua sangat penting dalam membentuk mereka menjadi orang dewasa yang disiplin. Mereka sering mengkritik anak-anak mereka sendiri karena dimanjakan dan kurang tangguh, dan menghubungkan hal ini dengan kurangnya pola asuh yang ketat.
Sebaliknya, generasi boomer, yang tidak puas dengan pola asuh mereka sendiri, memilih untuk mengasuh anak-anak mereka---generasi Milenial---dengan cara yang berbeda. Karena menolak pendekatan orangtua yang lepas tangan dan terkadang mengabaikan, generasi boomer menjadi sangat terlibat dalam kehidupan anak-anak mereka, sebuah tren yang dirangkum dalam istilah "helicopter parenting". Para ayah, khususnya, mengambil peran yang lebih aktif dalam membesarkan anak, berupaya menciptakan lingkungan yang mengasuh.
Sebaliknya, kaum milenial berupaya membina hubungan yang lebih egaliter dengan anak-anak mereka, dengan tegas menolak rasa takut sebagai alat pengasuhan anak. Mereka lebih memilih penalaran dan dialog daripada tindakan hukuman, dan seringkali menghindari konflik untuk mencegah kemungkinan penolakan oleh anak-anak mereka. Pendekatan ini telah berhasil mencegah hubungan yang didasari rasa takut, namun secara tidak sengaja telah menciptakan tantangan baru.
Salah satu permasalahan yang signifikan adalah anak-anak dari orang tua Milenial ini mungkin kesulitan dalam menyelesaikan konflik secara sehat. Menghindari konflik berarti mereka memiliki lebih sedikit kesempatan untuk belajar bagaimana mengelola kemarahan dan kekecewaan dalam dinamika keluarga. Generasi sebelumnya, dengan struktur hierarki dan otoriternya, memberikan kerangka kerja yang, selain menekan ekspresi kemarahan secara terbuka, juga menawarkan cara untuk mengarahkan emosi tersebut. Tanpa kerangka seperti itu, kemarahan dan kekecewaan anak-anak yang berasal dari rumah tangga yang lebih egaliter bisa menjadi sangat besar.
Ketika generasi muda ini tumbuh dan mencari kemandirian, kurangnya pengalaman dalam penyelesaian konflik yang sehat dapat menyebabkan mereka memutuskan hubungan dengan orang tua sebagai cara untuk mengelola emosi. Keterasingan dapat berfungsi sebagai mekanisme pertahanan terhadap perasaan marah dan kecewa yang sulit mereka toleransi. Dalam kasus yang ekstrim, hal ini dapat mengakibatkan putusnya hubungan keluarga sepenuhnya.
Masalah ini semakin bertambah ketika anak-anak dewasa ini memasuki psikoterapi. Terapis yang lebih muda, yang dibesarkan oleh orang tua boomer, mungkin juga kesulitan menangani emosi yang kuat. Hal ini dapat mengarah pada lingkungan terapeutik di mana tindakan mengungkapkan perasaan lebih didorong daripada menerima dan menyelesaikannya. Akibatnya, terapis mungkin secara tidak sengaja memperkuat keterasingan tersebut, menasihati orang tua untuk berhati-hati dan menghindari mengkonfrontasi anak-anak mereka tentang dampak tindakan mereka.