Beginilah trauma menjadi masalah sosial yang memerlukan pengobatan sosial.
Trauma interpersonal memang bisa sangat terkait dengan rasa malu, dan untuk memahami hubungan ini perlu menggali perspektif psikologis dan sosial. Penting untuk dicatat bahwa teori dan perspektif psikologis mungkin berbeda-beda, namun ada beberapa tema umum yang menjelaskan mengapa trauma interpersonal sering kali lebih disebabkan oleh rasa malu daripada ketakutan.
1. Sifat Sosial dan Relasional Manusia:Â Trauma interpersonal terjadi dalam konteks hubungan, dan manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial. Hubungan yang kita bentuk memainkan peran penting dalam membentuk perasaan diri kita. Ketika hubungan ini menjadi sumber trauma, dampak emosionalnya seringkali lebih dari sekedar rasa takut dan bisa mencakup perasaan malu yang mendalam.
2. Pelanggaran Kepercayaan dan Kepemilikan:Â Peristiwa traumatis sering kali melibatkan pelanggaran kepercayaan dan rasa pengkhianatan. Baik itu pelecehan, penelantaran, atau segala bentuk kekerasan yang dilakukan oleh seseorang dalam lingkungan sosial, dampaknya meluas hingga ke inti identitas seseorang. Pelanggaran ini dapat memicu perasaan malu, karena individu mungkin menginternalisasi keyakinan bahwa mereka tidak layak atau bertanggung jawab atas peristiwa traumatis tersebut.
3. Internalisasi Keyakinan Negatif: Trauma interpersonal dapat menyebabkan individu menginternalisasi keyakinan negatif tentang dirinya. Mereka mungkin mulai memandang diri mereka sendiri sebagai orang yang rusak, tidak dapat dicintai, atau mempunyai kelemahan mendasar. Rasa malu muncul ketika orang mengidentifikasi diri dengan keyakinan negatif ini, dan hal ini dapat menjadi aspek konsep diri mereka yang meresap dan bertahan lama.
4. Stigmatisasi Sosial:Â Respons masyarakat terhadap penyintas trauma dapat berkontribusi terhadap perasaan malu. Stigmatisasi, menyalahkan, atau ketidakpercayaan dapat memperburuk dampak emosional dari trauma. Dalam beberapa kasus, penyintas mungkin ragu untuk mengungkapkan pengalamannya karena takut dihakimi atau ditolak, sehingga menambah rasa malu.
5. Norma Budaya dan Masyarakat: Norma budaya dan masyarakat juga berperan dalam membentuk cara individu memandang dan merespons trauma. Beberapa budaya menstigmatisasi korban pelecehan atau penyerangan, sehingga membuat penyintas lebih mungkin mengalami rasa malu. Memecah keheningan seputar trauma sering kali memerlukan tantangan dan perubahan sikap masyarakat.
6. Peran Rasa Malu dalam Mekanisme Mengatasi:Â Orang mungkin mengembangkan mekanisme penanggulangan untuk menghadapi trauma, dan beberapa mekanisme ini melibatkan rasa malu. Misalnya, para penyintas mungkin menyalahkan diri sendiri sebagai cara untuk memahami trauma yang mereka alami atau mempertahankan kendali. Internalisasi rasa malu ini dapat menjadi penghalang dalam mencari bantuan dan penyembuhan.
7. Pemberdayaan melalui Koneksi Sosial:Â Mengingat sifat sosial dari trauma, penyembuhan sering kali melibatkan hubungan dan dukungan sosial. Membangun rasa memiliki, pengertian, dan penerimaan dalam lingkungan sosial yang mendukung dapat melawan dampak rasa malu yang mengasingkan diri. Terapi, kelompok pendukung, dan hubungan interpersonal dapat memberikan ruang bagi individu untuk berbagi pengalaman dan menerima validasi.
Memahami dan mengatasi aspek sosial dari trauma sangat penting untuk mendorong penyembuhan dan ketahanan. Mengenali peran rasa malu dan konteks sosialnya dapat memandu pendekatan dan intervensi terapeutik yang menekankan empati, koneksi, dan pembangunan kembali rasa positif terhadap diri sendiri dalam komunitas yang mendukung.