Mohon tunggu...
Sukma Senja
Sukma Senja Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Pencari senja yang tak pernah diam.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Ancaman Predatory Pricing di Platform Digital Merugikan UMKM Lokal

12 September 2023   06:48 Diperbarui: 19 September 2023   09:03 986
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia sudah diakui sebagai salah satu pasar produk muslim potensial di dunia. Selain makanan dan minuman, fashion muslim juga menjadi produk halal terlaris.

Menurut catatan Laporan Kantor Berita Internasional Al-Quran, Iqna, Masyarakat muslim di Indonesia menghabiskan sekitar USD 6,9 miliar untuk membeli 1,02 miliar hijab setiap tahunnya.

Ironisnya, produk hijab yang dibeli para kaum hawa di Indonesia mayoritas merupakan produk impor. Porsinya mencapai 75%. Hijab lokal hanya sebesar 25%.

Lantas faktor apakah yang menjadi penyebabnya? Apakah style yang dirasa kurang menarik? Atau justru harga yang ditawarkan produk impor lebih murah dibandingkan produk lokal?

Yap, memang dari sisi harga yang menjadi salah saktu faktor bagi kaum hawa lebih memilih produk hijab impor.

Yah berarti harga produk lokalnya harus dibikin murah dong? Gak segampang itu juga kawan. Karena tiap negara memiliki kebijakan dan situasi ekonomi yang berbeda-beda.

Belum lama ini, INDEF melakukan riset independen. Hasilnya, produk impor yang dijual di TikTok Shop harganya sangat rendah. Kondisi ini tentu merugikan produsen dalam negeri.

Cek harga hijab di aplikasi tersebut, mungkin kalian akan menemukan yang harganya Rp 5.000. Bayangkan harganya cuma Lima ribu perak! Gak cukup buat beli bensin 1 liter.

Sedangkan harga produk hijab lokal paling murah berkisar Rp 20.000-Rp 35.000. Di dunia ekonomi, praktik seperti ini namanya Predatory Pricing.

Melihat fenomena tersebut, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) merespon dengan akan melakukan penelusuran terkait permasalahan yang ada. Apakah ini isu persaingan usaha sebagaimana UU 5/1999 atau isu lain seperti kebijakan pemerintah atas pengaturan sektor digital atau kebijakan impor barang atau perlindungan atas konsumen yang lemah.

Kok bisa yah produk impor lebih murah? Karena pengusaha di negara asal produk tersebut memberikan subsidi dan insentif serta aturan lain yang menciptakan keunggulan persaingan tidak sehat.

Melihat kondisi ini, pemerintah bersama masyarakat Indonesia sebenarnya wajib menjadi resah dan segera melakukan tindakan antisipasi supaya pengusaha lokal tetap berkesempatan menikmati keuntungan di pasar digital yang sangat menjanjikan itu. Terus pemerintah kita bisa apa?

Selamat datang di era digital, di mana pemegang big data, pemilik algoritma dan kecerdasan buatan dapat menjelma melampaui apa yang bisa dibayangkan oleh masyarakat secara luas.

Dalam konteks Indonesia, sudah saatnya terbit ketentuan yang mampu menyehatkan dan mengantisipasi perkembangan pasar digital ke depannya.

Bayangkan, jika platform digital seperti TikTok yang kini mendominasi pasar digital baik sebagai platform media sosial maupun e-commerce dibiarkan begitu saja. TikTok akan mendatangkan produk impor yang paling laris di Indonesia berdasarkan kajian algoritma media sosialnya. Lama kelamaan, pelaku UMKM berguguran dan semakin memperkuat Indonesia sebagai negara konsumen, bukan produsen.

Pengaturan dari pemerintah bukan berarti mematikan atau melarang TikTok, misalkan melalui pembaharuan Permendag 50/2020. Ini merupakan upaya nyata pemerintah untuk menciptakan pasar digital yang sehat, tidak ada predatory pricing, tidak ada monopoli.

Toh aturan anti monopoli seperti ini juga diberlakukan di China, negara asal si TikTok. Karena tidak mau kecolongan, China mulai mengetatkan aturan pengetatan di sektor digital mulai akhir Desember 2020 lalu melalui penerbitan draft kebijakan anti-monopoli baru.

Pada Februari 2021, otoritas China merilis guidelines anti-monopoli untuk platform ekonomi digital yang dikenal dengan sebutan "Platform Guideline".

Aturan ini juga yang menyebabkan Alibaba dikenakan sanksi RMB 182 miliar akibat memaksakan sejumlah merchant menjalin kerja sama eksklusif di platform digitalnya. Praktik ini istilahnya "pick one of two" di China.

Pada Oktober 2021, Platform Guideline tersebut diperluas dengan diterbitkannya "Classification Guidelines for internet Platform" dan "Guidelines to Implementing Subject Responsibility for Internet Platforms". Kemudian, pada 2022, China melakukan amandemen kebijakan anti monopoli yang telah berlaku sejak 1994.

Dalam salah satu pasal versi amandemen tersebut, mengatur bahwa platform digital tidak boleh melakukan praktik monopoli yang diatur dalam undang-undang melalui penyalahgunaan data dan algoritma, keunggulan teknologi, kekuatan permodalan atau peraturan platform yang bersifat menciptakan dominasi secara tidak bertanggung jawab.

Kalau di China saja sudah melakukan serangkaian upaya pengetatan yang sangat serius seperti ini. Lantas, mengapa pemerintah Indonesia tidak boleh menjaga ekosistem digitalnya tetap dalam kondisi sehat?

Ayo mikir...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun