Indonesia sudah diakui sebagai salah satu pasar produk muslim potensial di dunia. Selain makanan dan minuman, fashion muslim juga menjadi produk halal terlaris.
Menurut catatan Laporan Kantor Berita Internasional Al-Quran, Iqna, Masyarakat muslim di Indonesia menghabiskan sekitar USD 6,9 miliar untuk membeli 1,02 miliar hijab setiap tahunnya.
Ironisnya, produk hijab yang dibeli para kaum hawa di Indonesia mayoritas merupakan produk impor. Porsinya mencapai 75%. Hijab lokal hanya sebesar 25%.
Lantas faktor apakah yang menjadi penyebabnya? Apakah style yang dirasa kurang menarik? Atau justru harga yang ditawarkan produk impor lebih murah dibandingkan produk lokal?
Yap, memang dari sisi harga yang menjadi salah saktu faktor bagi kaum hawa lebih memilih produk hijab impor.
Yah berarti harga produk lokalnya harus dibikin murah dong? Gak segampang itu juga kawan. Karena tiap negara memiliki kebijakan dan situasi ekonomi yang berbeda-beda.
Belum lama ini, INDEF melakukan riset independen. Hasilnya, produk impor yang dijual di TikTok Shop harganya sangat rendah. Kondisi ini tentu merugikan produsen dalam negeri.
Cek harga hijab di aplikasi tersebut, mungkin kalian akan menemukan yang harganya Rp 5.000. Bayangkan harganya cuma Lima ribu perak! Gak cukup buat beli bensin 1 liter.
Sedangkan harga produk hijab lokal paling murah berkisar Rp 20.000-Rp 35.000. Di dunia ekonomi, praktik seperti ini namanya Predatory Pricing.
Melihat fenomena tersebut, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) merespon dengan akan melakukan penelusuran terkait permasalahan yang ada. Apakah ini isu persaingan usaha sebagaimana UU 5/1999 atau isu lain seperti kebijakan pemerintah atas pengaturan sektor digital atau kebijakan impor barang atau perlindungan atas konsumen yang lemah.
Kok bisa yah produk impor lebih murah? Karena pengusaha di negara asal produk tersebut memberikan subsidi dan insentif serta aturan lain yang menciptakan keunggulan persaingan tidak sehat.