Assalamualaikum Wr.Wb
Halo Kriko. Kenapa,ya, Kompasiana baru-mu ini susah sekali konek- sehari lalu? Padahal, aku membuka blogku yang lain mudah login dengan cepat. Apa yang terjadi dengan rumah barumu, Kriko? Kemanakah fitur message-nya? Kenapa untuk menghapus tag dan mengedit selalu tak bisa? Kenapa menyisipkan gambarnya susah, padahal sudah kutaruh link dan kuisi semua kolom kosongnya? Kemanakah subkolom luar negerinya,Kriko? Semoga Kompasiana barumu cepat pulih,ya, Krikoo.
...................................................................
Kosakata ‘Rohingya’ sampai detik ini masih diperdebatkan oleh pemerintah Myanmar. Mereka, si sekelompok kaum minoritas yang tinggal di Rakhine, bagian barat Myanmar. Permasalahan mengenai Rohingya ini nampaknya benar-benar kompleks. Banyak kelompok penganut agama Buddha yang menentang keberadaan mereka. Mereka dianggap bukan bagian dari 153 etnis yang masuk dalam Citizenship Law di Myanmar pada tahun 1982. Media dianggap memberitakan hal-hal palsu karena mereka tak lahir dan besar di Myanmar.
Yang saya tahu, dalam perjanjian terakhir antara Indonesia, Thailand dan Malaysia, ada dua perlakuan kepada pengungsi di Aceh itu. Mereka terbagi menjadi dua, yaitu orang Bangladesh yang mencari ‘penghidupan’ lebih baik dan kelompok muslim minoritas dari Rakhine yang ‘dihabisi’ oleh pemerintah Myanmar. Kemudian, pemerintah, dalam pimpinan Thein Shein sekalipun, mengeluarkan kebijakan kontroversialnya melalui beberapa UU yang mendiskriminasi Rohingya. Beberapa aturan itu adalah pelarangan kelompok Rohingya melakukan travelling, melarang untuk memiliki lebih dari dua anak dan adanya boikot terhadap usaha kaum Rohingnya muslim di sana.
Di Bangladesh sendiri, terdapat fenomena yang cukup miris. Tanah-tanah desa mereka habis tersapu air. Nampaknya, negara ini menjadi bagian dari korban perubahan iklim. Negara mana yang salah dalam masalah perubahan iklim? Tak ada negara mana pun yang mau disalahkan, baik itu Amerika Serikat, Cina atau India. Nah, orang-orang ini melakukan urbanisasi besar-besaran ke pusat kota Bangladesh. Barangkali, tuntutan hidup tak bisa dipenuhi di sana. Pengangguran dan kemiskinan merajalela. Hal ini diikuti oleh intrik para ‘trafficker’ yang menjanjikan kemapanan finansial dengan membayar sekian dan akan mendapat pekerjaan di negara lain, seperti Malaysia, Thailand, Indonesia atau Australia. Mereka pun mengumpulkan uang sekian X lalu menyetornya pada kelompok trafficker itu. Perpisahan dengan keluarga pun terjadi. Ini artinya, bahkan, si pengungsi ini harus membayar sendiri ‘perjalanan mengerikan’ mereka di Laut Andaman. Perjalanan dengan kapal sudah pasti tak mudah. Banyak yang mati karena kelaparan. Beberapa ditendang dari perahu mereka dan meninggal di laut. Tidak hanya badan kurus kering yang kita lihat, tetapi juga luka atas hantaman atau bacokan yang dapat anda saksikan di punggung atau bahu mereka.
Di Rakhine sendiri, rumah mereka dibakar. Mereka disebut ‘orang Bengalis’. Hak-hak dasar mereka tak terpenuhi. Terlebih, mereka tak diakui sebagai warga negara. Menurut UNHCR. sudah lebih dari 200.000 kaum Rohingya yang menjadi ‘manusia kapal’. Saudara, keluarga atau pasangan mereka masih di Rakhine atau Bangladesh. Mayoritas warga Myanmar memang pengikut Buddha. Kelompok militer sendiri memang ingin membumihanguskan mereka karena mereka itu ‘bukan orang Myanmar’. Alhasil, masalah Rohingya ini percampuran antara kebijakan domestik militer Myanmar dan adanya dukungan oleh kelompok Mayoritas Buddha. Dimana peran Aung San Suu Kyi sekarang? Dimana peran pemuka Buddha yang dikagumi dunia itu, Dalai Lama? Suu Kyi, si peraih nobel perdamaian itu, bahkan mengakui bahwa masalah Rohingnya ini sangat kompleks. Partai besutannya ditengarai mungkin akan kalah dalam hitungan suara dalam pemilu nasional apabila membela kaum minoritas di Rakhine. Itulah kenapa nampaknya Suu Kyi tidak menyuarakan kepentingan kaum minoritas ini. Jika anda penganut demokrasi, anda pasti akan merangkul kaum minoritas juga, kan? Jadi, Aung San Suu Kyi bermain aman dalam konteks politik domestik. Pilihan yang lumayan cerdas, menurut saya. Tapi, tetap saja, hal itu akan mengusik hati, apakah nilai demokrasi ala Myanmar itu tidak mengindahkan kepentingan kelompok minoritas?
Honestly, awalnya, saya berpikir, urusan pengungsi paling-paling jadi masalah di benua Afrika atau di kawasan Timur Tengah. Eh, ternyata, hal ini pun terjadi di Asia Tenggara! Masalah pengungsi adalah masalah transnasional. Percuma anda menyalahkan Bangladesh, Myanmar, Thailand, Malaysia, Indonesia, Australia, junta militer atau kelompok orang Buddha di Myanmar. Yang dibutuhkan para pengungsi itu sama layaknya kita semua sebagai sesama. Membutuhkan tempat hidup dan diberikan hak-hak nya agar bisa menjaga keberlangsungan hidupnya. Para pengungsi itu jelas tak mendapat hak-hak dasar seperti pendidikan dan hak status warga negara. Tindakan yang dilakukan Indonesia untuk memberikan tempat sementara di Aceh merupakan hal yang tepat. Jika anda menggunakan perspektif humaniter, ini adalah soal bantuan untuk menyelamatkan manusia. Toh, kita membantu mereka sementara dengan menyiapkan shelter dan kebutuhan pangan serta sandang dalam satu tahun, jika tidak salah. Dana dari IOM dan UNHCR (serta mungkin negara-negara lain) dikucurkan untuk membantu mereka. Sahabat perempuan saya bertanya dengan sangat kritis, “ Dana bantuan itu gratis atau pinjaman?” Saya menggeleng. Tak tahu. Hopefully, dana itu tak memberatkan Indonesia.
Apapun yang terjadi, menurut saya, pertolongan itu sudah sepantasnya dilakukan oleh negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Masalah ini membutuhkan uluran tangan dari banyak negara, mungkin, tidak hanya komunitas ASEAN, tetapi juga negara-negara maju yang memiliki kepedulian atas rasa kemanusiaan. Yang paling penting bagi Indonesia saat ini adalah melindungi dan membantu memenuhi hak-hak mereka sebagai manusia di tempat penampungan sementara. Lihatlah nelayan Indonesia di ujung Aceh. Saking baiknya, mereka tak tega dan ingin menolong mereka. Adalah benar bahwa mereka adalah manusia seperti kita. Akar permasalahan yang ada di Bangladesh mungkin bisa dibantu dalam skema kerjasama multilateral sehingga bisa mendorong adanya kehidupan ekonomis yang jauh lebih baik di sana. Khusus untuk Rohingya di Myanmar, Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya bisa mendorong adanya pertemuan khusus dengan pemerintah Myanmar demi membahas hal ini. Tekanan dari negara maju mungkin bisa dilakukan untuk meminta pemerintah mengakui hak-hak dasar Rohignya sebagai warga negara Myanmar. Peran dari PBB,khususnya UNHCR, pasti akan berguna untuk mengatasi masalah seperti ini.
Sumber:
http://tonyblairfaithfoundation.org/religion-geopolitics/commentaries/backgrounder/who-are-rohingya