Sumba, Desember 2009 Alarm ponsel berdering kencang membungkam sepinya pagi. Deringnya sombong membangunkan siapa saja yang ada di dekatnya. Saya, si empunya ponsel pun reflek menekan tombol off. Dalam hati : "oke pagi..saya bangun..." Dan seperti biasa, tak ada lagi suara adzan yang lantang menyambut pagi. Hanya alarm saya, dan beberapa teman lain yang bersahutan membangunkan tuannya masing-masing. Di kamar ini, masih dengan kami bertiga. Saya, seorang teman muslim, dan seorang teman Kristen dari Kupang. Dan berhubung saya spesialis begadang, kadang si teman tak tega membangunkan saya yang tidur lelap di sisi laptop dan tumpukan data. Subuh..kami sambut dengan guyuran air wudlu yang sudah kami siapkan semalam. Setiap malam sebelum tidur, yang terakhir kami siapkan adalah persediaan air bersih dalam botol minuman mineral ukuran 1,5 liter untuk wudlu esok paginya. Tuhan..ini maksimal air yang bisa kami miliki pagi ini. Dengan namaMu ya Allah, kami pun menuangkan sedikit demi sedikit air dari botol. Sehati-hati mungkin, agar tak ada aliran air yang terbuang sia-sia. Begitu seterusnya yang kami alami selama kira-kira 3 pekan di awal. Bersyukurlah saya lebih banyak tinggal di basecamp, sehingga saya bisa menyediakan air wudlu dengan lebih mudah. Sedangkan teman-teman enumerator yang terjun ke lapangan, dipastikan akan mendapat tantangan yang lebih berat untuk tetap mendirikan solat 5 waktunya. Selain kondisi air yang sangat terbatas, hilangnya suara adzan dari telinga kami sungguh berhasil mengeringkan sebagian dari diri kami. Makin sempurna kekeringan kami saat Idul Adha kami lewati di desa pedalaman. Sama sekali tanpa gegap takbir seperti biasa. Saya dan teman sekamar pun merasa cukup dengan bertakbir sayup di dalam kamar, hanya kami berdua. Solat ied yang juga terlewatkan melengkapi sepi kami. Sungguh kering rasanya. Di pekan-pekan terakhir barulah kami memasuki kecamatan yang lebih dekat dengan kota. Kecamatan Umalulu. Walau tetap menjadi minoritas, kami menemukan sebuah masjid megah di tengah komplek sekolah madrasah. Di depan masjid, berjejer rumah dinas guru dan karyawan, yang sebagian besar dari mereka adalah pendatang. Setelah hampir sebulan kami hidup tanpa masjid dan adzan, saya dan teman sekamar kadang menunggu adzan di masjid. Walaupun di basecamp ada kamar mandi dan cukup air, kami sengaja memilih mandi di kamar mandi masjid. Setelah mandi kami duduk diam di masjid. Menikmati rumah Tuhan yang berhasil menyejukkan keringnya sebagian diri kami. Setelah tiga pekan kami bergantung pada jam ponsel sebagai penunjuk waktu solat. Akhirnya kami kembali mendengar 'panggilan' yang lantang diserukan sang muadzin. Tak jarang kami pun sengaja datang ke masjid lebih awal untuk menunggu 'dipanggil'. Bandingkan ketika di rumah. Adzan terkumandangkan dari segala penjuru. Menyerukan panggilanNya untuk seluruh hamba di muka bumi. Merasa terpanggil kah? Bahkan diakui atau tidak, kadang adzan seolah hanya menjadi penunjuk waktu. Tak lebih hanya sebagai tanda pergantian waktu. Tak ada rasa terpanggil untuk menghadapNya lagi ketika mendengarnya. Inilah rindu kami. Rindu para makhluk Tuhan, yang begitu lahir kami diperdengarkan adzan, lalu nanti di liang kubur pun kami dilepas dengan kumandang adzan. Rindu memang akan datang ketika ada menjadi hilang. Semoga ini bukan rindu yang sia-sia. Kami akan mengingat rindu ini agar tak lagi menafikkan nikmat.. Alhamdulillah :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H