[caption caption="Ilustrasi: pixabay.com | Mariamichelle"][/caption]Ia pria yang suka membenturkan kepalanya di dinding—belakangan, ia juga suka mendengarkan kisah tentang Leonardo. Ia tak begitu yakin sejak kapan melakukannya, tapi ia sungguh menikmatinya. Di setiap tempat yang ia kunjungi, hal pertama yang ia cari adalah dinding. Ia akan terus membenturkan kepalanya hingga dahinya berdarah atau sampai petugas keamanan turun tangan.
Suatu kali, ketika pria itu melancong ke Italia, seorang pria Italia mirip Pavarotti menghampirinya.
“Apa yang kamu lakukan?” tanya si orang Italia padanya, persis ketika ia sedang asyik membenturkan kepala pada dinding menara Pisa.
Mengingat apa yang dilakukan si pria bukan sesuatu yang gampang untuk dijelaskan dengan kata-kata, dan si pria memang belum pernah berhasil sebelumnya, ia berusaha menjelaskan dengan hal yang bersifat sangat pribadi, motif yang samar, berharap si orang Italia akan merasa segan dan segera pergi setelah mendengar jawabannya. Si pria menjawab, “Membuat diriku rileks.”
Tapi bukannya pergi, si orang Italia malah tambah penasaran—meski ia berusaha menyembunyikannya. Itu terlihat dari tanggapan singkatnya yang diberi penekanan berlebih, “Oh.” Monosilabel yang pada saat itu, bagi si pria, tidak memiliki arti selain ‘omong kosong apa ini, brengsek?’, yang seketika membuat pria itu berhenti dan berdiri berkacak pinggang, memandangi si orang Italia sambil memikirkan sesuatu yang lebih gampang dimengerti sebagai penjelasan.
“Katakanlah,” cetus si pria beberapa saat kemudian, “ini mirip dengan orang yang sedang mendengarkan musik jazz atau berlatih Yoga.”
Tapi orang Italia itu masih tampak kebingungan, ia masih mencoba menggapai sesuatu yang terlalu jauh, sehingga mau tak mau pria itu kembali berpikir (pada saat ini, si pria telah sepenuhnya melupakan sikap menjelaskan-ala-kadarnya yang ia tunjukan sebelumnya). Ia berusaha mengingat segala hal tentang Italia yang pernah ia tonton di film Life is Beautiful; mengaitkannya dengan nama klub-klub di pertandingan Serie A, dengan Mussolini, Gelato, bahkan Pizza Hut, sebagai analogi. Tapi tetap saja mentok. Pada akhirnya ia menyerah, seperti biasanya, dan berkata asal, “Ini semacam menyuap seseorang, mengerti?”
“Oh,” kata si orang Italia, tanpa disangka-sangka, kali ini dengan nada puas dan penuh pengertian. Si pria lega bukan main. Tapi kemudian si orang Italia yang mulai khawatir melihat darah menetes dari dahi si pria berkata, hampir merengek, “Kenapa juga kamu tidak nonton TV atau baca majalah Playboy saja. Itu ‘kan jauh lebih baik?”
“Itu gak ada gunanya,” sahut si pria, acuh tak acuh, bersiap membenturkan kepalanya lagi. “Aku harus mengeluarkan sesuatu dari kepalaku ini dan aku gak tahu cara lain lagi.” Ia kemudian membenturkan kepalanya lebih keras dari sebelumnya, meninggalkan bercak darah selebar dahi di dinding cokelat itu.
“Kurasa aku mengerti,” kata si orang Italia, tiba-tiba. “Bagian mananya?” tanya si pria.
Kemudian si orang Italia bercerita kalau ia bertemu orang ini setahun lalu. Namanya Leonardo. Orang ini tinggal di apartemen kumuh di pinggiran kota Roma bersama istri dan kedua anaknya. Mereka miskin, seperti halnya keluarga Antonio Ricci. Mereka hampir menggadaikan segala benda miliknya kecuali pakaian yang melekat di badannya.