Tiada hari tanpa bermain bersama, entah itu di rumahku atau di rumahnya—yang pada kenyataannya memang tidak berbeda. Kartu Uno, istana pasir, kelereng, (bahkan) boneka Barbie. Kami memainkan semua jenis permainan. Dan ketika mulai beranjak dewasa, kami sama-sama menemukan satu kegemaran baru untuk dituliskan di biodata, yakni membaca buku.
Sepanjang hari, sepanjang malam, kami membaca Stevenson, Pram, Bohumil Hrabal, dan berjibun buku stensilan yang kami dapatkan dari tempat penyewaan buku. Kami tidak pernah pilih-pilih buku. Tetapi seperti juga kenyataan bahwa diantara semua perempuan cantik tetap saja ada yang tercantik, maka tak aneh jika kami juga punya penulis favorit masing-masing: Karniya dengan Juan Rulfo dan aku dengan Cesar Aira. Meskipun begitu, kegemaran kami tidak ada kaitannya dengan handie-talkie. Setidaknya begitulah sebelum kami jatuh cinta.
Seperti yang lain, awalnya kami tak tahu kalau itu cinta. Kami tak tahu cara mendeteksinya—tidak seorang pun tahu—dan masih menganggap ‘situasi’ tersebut sebagai hubungan persahabatan-oktan-tinggi. Hari demi hari, perasaan ini mulai tak tertahankan. Kali pertama kami menyadarinya, semuanya terasa benar-benar aneh, ilogik, sulit dikendalikan, dan berlebihan. Tubuh kamilah yang menunjukkan tanda-tandanya. Intensitas kontak mata menurun (karena setiap kali itu terjadi tulang belakang kami rasanya mau copot), kami mendadak berani berkata ‘tidak’ pada sesuatu yang kami senangi, dan aku sering kali tak bisa tidur sebelum mendengar aubade kokok ayam saat subuh—di kemudian hari, lewat handie-talkie, Karniya mengakui hal yang sama.
Yang bisa aku katakan adalah sungguh mengejutkan bagaimana cinta bekerja pada kami.
III
Suatu hari, kalau tidak salah sore-sore, karena pada waktu itu badanku masih bau amis sehabis berolahraga, adik Karniya yang baru pulang dari kemah pramuka membawa handie-talkie milik gurunya. Ia membawanya ke rumahku dan memperagakan bagaimana cara menggunakannya. Aku langsung bisa. Mudah saja, tinggal pencet dan ngomong. Dan sejauh ingatanku tak keliru, adik Karniya-lah yang pertama kali menyodorkan gagasan ini padaku, “Kenapa handie-talkie-nya enggak dipakai ngobrol dengan Karniya saja?” Jadilah hari itu kami berhubungan lewat handie-talkie. Tanpa disangka-sangka, kami ngobrol banyak seperti dulu, seolah tidak pernah terjadi sesuatu yang aneh sebelumnya. Setelah beberapa waktu, kami sepenuhnya melupakan konsep tatap-muka. Sebulan kemudian, seks handie-talkie.
“Kenapa bukan telepon?”
“Itu karena—” “Atau Skype?” aku menyelanya.
“Kamu suka minum kopi?” “Ya,” kataku.
“Kamu suka semua jenis kopi?”
Ia sedang berusaha membuatku K.O.