Sederhana saja, artikel ini murni obrolan ringan dari penulis yang sedang menempuh pendidikan program S1 di Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar Kairo. Disela-sela mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian semester tiga di awal tahun 2024 nanti, penulis telah berlarut-larut dalam membaca dan memahami materi yang ada di mata kuliah Fikih Muamalah tetapi ujung-ujungnya hanya memunculkan pertanyaan yang mungkin sepele dan jauh dari kriteria normatif pembahasan utuhnya.
Namun, bagi saya sebagai filsuf anak bawang selalu berusaha mengaktingkan diri sebagai sosok yang senantiasa punya nilai filosofis dengan memunculkan pertanyaan yang seringkali memang se-sederhana itu. Pertanyaannya adalah "apa harta yang paling berharga dalam kehidupan manusia?"
Dari sekian banyaknya hukum, jenis pengambilan hukum, segi perbedaan hukum, dan lain sebagainya mengenai pembahasan harta dan jual beli tapi akhirnya tidak saya temukan secara tersurat tentang kasta harta yang paling tinggi. Yang lebih uniknya lagi dalam pembahasan harta dan jual beli ini, saya hampir tidak menemukan diksi gani yang disangkutkan dengan harta. Melainkan diksi kanaah yang justru sering tampil di panggung pembahasan dan menari dengan diksi harta.
Secara singkat gani sering dimaknai sebagai kekayaan, sedangkan kanaah sering diartikan rasa menerima apa adanya. Tapi seringkali kita temukan bahwa diksi kanaah hampir terjun ke jurang diksi miskin. Padahal dalam kitab-kitab yang membahas masalah harta dalam Islam diksi kanaah atau yang seakar kata dengannya yang paling sering bersanding dengan masalah harta. Maka secara sepintas saya beranggapan bahwa harta bukan tentang semua kekayaan yang bergelimang melainkan tentang penerimaan sesuatu secara apa adanya dengan rasa syukur.
Dari satu lembar yang saya telaah materi diktatnya menghasilkan sekurang-kurangnya delapan pertanyaan yang tidak akan puas jawabannya kecuali dengan bertanya kepada dosen atau diskusi dengan teman-teman kelas di kampus. Oleh karena itu, mata kuliah fikih muamalah ini yang membangkitkan saya untuk membuka mata guna kuliah dengan lebih semangat lagi.
Kembali lagi pada pembahasan sebelumnya bahwaÂ
konsep harta dalam Islam pada intinya berputar pada segi kebermanfaatannya. Masa muda, kesempatan kuliah, kesehatan jiwa dan raga, semuanya adalah harta yang sesungguhnya.Â
Fikih muamalah bukan hanya tentang konsep hukum jual beli atau sebagainya. Melainkan tentang bagaimana manusia memandang terhadap harta itu sendiri. Buktinya setelah perdebatan dalil tentang penetapan hukum sesuatu pada dasarnya disandarkan pada nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan. Karena memang pada satu sisi manusia punya potensi tamak yang berujung pada perpecahan.
Mata kuliah bukan sekadar membuka mata untuk kuliah.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H