Berakhirnya perang dingin membuat studi keamanan mengalami transformasi. Jika pada awalnya konsep keamanan dimaksudkan sebagai kajian tradisional yang bersifat militeristik, maka dalam perkembangannya studi keamanan mulai memasukan aspek non-militer, yaitu aspek-aspek di luar hirauan tradisional kajian keamanan sebagai bagian dari studi keamanan. Salah satu bentuk ancaman keamanan non-tradisional adalah kemiskinan ekstrem.
Isu kemiskinan mulai mengemuka pada tahun 1960-an dan telah lama menjadi perhatian para ahli pembangunan. Hal ini karena persoalan kemiskinan bukan semata-mata masalah kemanusiaan. Kemiskinan merupakan akar penyebab banyak masalah dan menjadi ancaman serius bagi seluruh negara di dunia. Kemiskinan semakin diakui sebagai masalah keamanan utama, baik bagi negara kaya maupun negara miskin di dunia. Kemiskinan mengikis kapasitas negara untuk mengatasi tantangan global dan potensi mereka untuk berkontribusi penuh pada keberhasilan implementasi SDGs (Sustainable Development Goals)Â PBB. Kemiskinan dapat berdampak pada demokrasi, ketahanan pangan, ketahanan terhadap perubahan iklim, dan hak asasi manusia. Kemiskinan juga dapat menimbulkan ketegangan yang meletus dalam konflik sipil, yang semakin membebani negara dan memungkinkan aktor transnasional melakukan tindakan ilegal.
Meski telah lama menjadi pembahasan dalam forum-forum internasional, persoalan kemiskinan hingga kini belum bisa teratasi, bahkan cenderung meningkat jumlahnya. Pada awal tahun 2020, lebih dari 588 juta orang hidup dalam kemiskinan ekstrem, yang berarti sekitar 7,7% dari populasi global saat ini kekurangan aset dasar. Pandemi global COVID-19 telah mendorong lebih dari 250 juta orang ke dalam jurang kemiskinan dan menghancurkan harapan untuk memberantas kemiskinan ekstrem pada tahun 2030. Dengan ini, kemiskinan tidak hanya bertahan, namun juga memburuk dari tahun ke tahun. Lantas, apa yang membuat persoalan kemiskinan ini tak kunjung selesai?
Sulitnya mengentaskan kemiskinan berkaitan dengan apa yang kita pahami tentang kemiskinan itu sendiri. Masih banyak dari kita, baik para pemangku kepentingan maupun masyarakat biasa, yang memandang kemiskinan sebagai persoalan ekonomi saja, yakni mengukur kemiskinan berdasarkan pendapatan seseorang dan berapa banyak yang dapat mereka beli dengan pendapatan itu. Adanya miskonsepsi mengenai konsep kemiskinan membuat kebijakan yang dirumuskan tidak sesuai dan tepat sasaran. Padahal, kemiskinan merupakan persoalan multidimensional, di mana kualitas hidup seseorang, terkait kesehatan, pendidikan, juga menjadi standar dalam menentukan tingkat kemiskinan.
Maka dari itu, isu kemiskinan tidak selalu tentang pendapatan. Terkadang pendapatan seseorang mungkin berada di atas garis kemiskinan, tetapi keluarga mereka tidak memiliki listrik, tidak memiliki akses ke toilet yang layak, kekurangan air bersih, dan lain sebagainya. Mengkategorikan seseorang berada dalam situasi kemiskinan berdasarkan pendapatan yang didapat dibawah rata-rata merupakan penyederhanaan yang salah.
Kemiskinan merupakan persoalan kompleks yang membutuhkan tindakan kolektif dari banyak pihak, seperti pemerintah, pihak bisnis, organisasi non-pemerintah, dan masyarakat sipil, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif, melalui peningkatan akses pendidikan, kesehatan, dan perbaikan infrastruktur. Memobilisasi semua sektor masyarakat adalah tujuan bersama untuk mengakhiri kemiskinan dengan manciptakan keuntungan yang tidak hanya untuk orang miskin tetapi juga ekonomi yang lebih luas.
Pertumbuhan ekspor dan masuknya investasi asing terbukti mampu mengurangi kemiskinan. Namun, pada saat yang sama, perdagangan dan investasi asing saja tidak cukup untuk mengentaskan kemiskinan. Kita tidak bisa hanya mengandalkan pertumbuhan ekonomi untuk keluar dari situasi kemiskinan. Pertumbuhan suatu negara harus memberi manfaat paling besar bagi yang termiskin, dan membuka peluang bagi kaum miskin ekstrem untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, akses terhadap fasilitas pelayanan publik, dan menyediakan pendidikan bagi generasi berikutnya. Pembentukan dana perlindungan sosial juga diperlukan untuk membantu negara-negara memberikan jaminan sosial. Karena pertumbuhan saja tanpa redistribusi kekayaan tidak akan mampu mengatasi kemiskinan secara efektif.
Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi juga telah menawarkan banyak solusi untuk mengatasi kemiskinan dan masalah global lainnya. Kemajuan ini bahkan sangat menjanjikan untuk mencapai Agenda 2030 untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dan pengentasan kemiskinan. Untuk benar-benar memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pembangunan berkelanjutan, maka para pemangku kepentingan perlu memprioritaskan solusi yang berpihak pada masyarakat miskin dan berkeadilan. Dengan demikian, Â adanya globalisasi dapat bermanfaat bagi orang-orang yang terkungkung dalam kemiskinan ekstrem, tetapi hanya jika kebijakan dan institusi pelengkap yang sesuai tersedia dan mendukung.
Jadi, persoalan kemiskinan tidak hanya merujuk pada satu dimensi, yakni dari sisi ekonomi saja, seperti yang dipersepsikan banyak orang. Kemiskinan merupakan permasalahan struktural yang diciptakan oleh sistem kapitalisme. Meski terbilang cukup sulit untuk mengentaskan kemiskinan, hal ini bukan berarti tidak mungkin tercapai. Kemiskinan global dapat diselesaikan ketika kita semua mengambil peran dan melakukan tanggung jawab kita dalam memutus siklus kemiskinan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H