Mohon tunggu...
Sukma AinulFitri
Sukma AinulFitri Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Magister Psikologi - Universitas Padjajaran

.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Dinamika Influencer di Indonesia: Kaitannya dengan Psikologi Operant Conditioning

24 Desember 2024   11:39 Diperbarui: 23 Desember 2024   17:54 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
tiktok: @abel_cantika

tiktok: @korban_bank_emok
tiktok: @korban_bank_emok
Munculnya influencer dari berbagai platform digital menjadi fenomena di Indonesia. Banyak Masyarakat yang menjadikan konten creator sebagai pekerjaan untuk mengais pundi-pundi rupiah. Dari anak-anak hingga orang dewasa. Tiktok merupakan salah satu media untuk dapat berinteraksi dengan pemirsa. Dengan interaksi tersebut, jumlah pembuat konten pun bertambah dengan berbagai macam ide yang baru-baru ini ramai diperbincangkan yaitu fenomena kampung tiktok, dimana penduduknya yang sebelumnya merupakan petani beralih profesi menjadi influencer tiktok. Hal ini berawal dari seorang Bernama Gunawan (Sadbor) yang mencoba membuat konten di tiktok sejak masa pandemi dan menarik perhatian sehingga berhasil mendapatkan 40-60 dollar darisana. Hal ini yang membuat Gunawan fokus menjadi influencer dan pulang ke kampungnya, di Sukabumi. Gunawan mengajak para warga untuk ikut terlibat. Dari engagement yang dihasilkan dapat membantu para penduudk terutama yang sedang kesulitan secara ekonomi. Selain sadbor, munculnya influencer terus bertambah pesat, mencakup berbagai bidang seperti kecantikan, gaming, hingga konten keseharian yang semakin diminati oleh beragam audiens.

Lalu bagaimana menjelaskan fenomena ini melalui kacamata psikologi? Hal ini dapat dijelaskan melalui teori psikologi operant conditioning. Operant conditioning merupakan teori yang mengatakan perilaku muncul diikuti oleh penguat (reinforcer) dan melemah jika diikuti oleh hukuman (punishment).  Teori ini melibatkan hubungan antara tindakan seseorang dan konsekuensi dari tindakan tersebut. Perilaku yang menghasilkan hasil yang menyenangkan akan cenderung diulangi hal yang menyenangkan ini disebut penguat (reinforcer), sementara perilaku yang menghasilkan hukuman (punishment) akan berkurang. Dalam konteks fenomena ini, likes, share, dan komisi berupa uang berperan sebagai penguatan positif yang mendorong influencer untuk terus memproduksi konten serupa yang mendapatkan respon positif dan engagement. Kabarnya penghasilan dari live tiktok sadbor bisa mencapai Rp. 700 ribu per hari. Hal ini yang membuat warga berbondong bodong beralih profesi yang darinya seorang petani menjadi influencer.

Lalu bagaimana punishment bekerja dalam fenomena ini? Dalam kasus sadbor, ia menghadapi masalah dan ditahan karena mempromosikan judi online melalui kontennya.  Dengan masalah ini, kampung tiktok yang awalnya ramai oleh warga joget live menjadi sepi dan aktivitas terhenti. Dalam kasus ini, tindakan penegakan hukum terhadap Gunawan dan orang-orang yang terlibat dapat dianggap sebagai bentuk punishment. Dimana punishment menghilangkan perilaku.

Dari fenomena ini memberikan kita wawasan baru terkait perilaku influencer dan kaitannya dengan psikologi yang menunjukkan perilaku dipengaruhi oleh prinsip-prinsip operant conditioning. Penguatan positif seperti likes, dan engagement mendorong warga untuk terus memproduksi konten TikTok. Namun, fenomena ini juga menunjukkan sisi dimana tindakan hukum terhadap salah satu kreator berfungsi seebagai punishmen yang mengurangi aktivitas dan partisipasi warga. Dengan demikian, fenomena ini mencerminkan dinamika antara reward dan punishment dalam mempengaruhi perilaku individu dalam konteks sosial dan ekonomi. Terlepas dari hal itu fenomena influencer sebagai pekerjaan telah menjadi salah satu alternatif yang menarik bagi banyak orang, terutama di era digital saat ini.  Dengan maraknya influencer dan keuntungan yang diperoleh, profesi ini kini dapat menjadi pilihan pekerjaan tetap bagi banyak orang.

Menurut Goanta dan Rachordas (2020) dalam bukunya yang berjudul The Regulation of Social Media Influencers menungkapkan bahwa regulasi yang jelas dapat membantu dalam mengakui influencer sebagai pekerjaan profesional dalam industri pemasaran. Dengan adanya kerangka hukum yang mengatur status mereka, influencer dapat lebih mudah diakui sebagai bagian dari tenaga kerja yang sah, yang berhak atas perlindungan hukum dan manfaat yang sama dengan pekerja di sektor lain. egulasi dapat menetapkan standar tertentu yang harus dipatuhi oleh influencer dalam konten yang mereka buat. Misalnya, mereka mungkin diwajibkan untuk mengungkapkan hubungan komersial dengan merek yang mereka promosikan, yang dapat meningkatkan transparansi dan kepercayaan konsumen. Hal ini juga dapat membantu melindungi konsumen dari praktik penipuan atau misleading advertising. Namun, Influencer sering kali berada dalam posisi yang tidak jelas mengenai status mereka apakah mereka dianggap sebagai pekerja tetap, kontraktor independen, atau bahkan sebagai pengusaha. Hal ini menciptakan kebingungan mengenai hak-hak mereka, termasuk hak atas upah minimum, tunjangan, dan perlindungan dari pemecatan yang tidak adil. Hal ini bisa menjadi konsen bagi pemerintah atau pihak berwenang dalam mengembangkan kebijakan-kebijakan yang membantu untuk mendukung dan menciptakan ruang bagi influencer.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun