Disamping itu jika melihat dari pada Advokasi mengenai RUU ini dapat di katakan telah sering dilakukan dan mampu mengantarkan RUU ini sampai pada Program Legislasi Nasional ( Prolegnas ), namun belum juga di sahkan menjadi undang undang, meskipun advokasiJaringan Advokasi Nasional untuk Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (the Jaringan selanjutnya) menyusun RUU untuk melindungi pekerja rumah tangga dan menerbitkan makalah kebijakan akademik yang memperdebatkan perlunya hukum nasional. Organisai atau LSM juga berusaha untuk Melakukan bekerja sama dengan organisasi lain dan jaringan; dan kemudian advokasi di lakukan untuk melobi parlemen dan pemerintah untuk memberlakukan Perlindungan terhadap RUU Pekerja Rumah Tangga, LSM juga berupaya mengadvokasi ratifikasi ILO Konvensi No. 189/2011
Hal ini justru berbeda dengan di bentuknya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, keberhasilannya ditandai dimana dalam konsideran UU tersebut menjelaskan bahwa banyak terjadi kekerasan dalam rumah tangga dimana ini pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi dimana yang sering menjadi korban adalah perempuan, sehingga perlu mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan Dalam hal ini Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat jumlah perempuan yang menjadi korban kekerasan setiap tahunnya meningkat.Kekerasan yang terjadi meliputi kekerasan fisik, psikis, dan seksual.Kekerasan ini terjadi di ranah domestik (rumah tangga dan dalam relasi intim lainnya), di wilayah publik dan juga dalam relasi warga dengan negara.
Komnas Perempuan juga mencatat bahwa kekerasan seksual merupakan salah satu dari bentuk kekerasan yang paling banyak terjadi.Dalam rentang waktu 2001 sampai dengan 2011, kasus kekerasan seksual rata-rata mencapai seperempat dari kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan.18Kasus kekerasan seksual yang dilaporkan juga meningkat setiap tahunnya, bahkan pada tahun 2012 meningkat 181% dari tahun sebelumnya. Dalam 3 tahun terakhir (2013 – 2015) kasus kekerasan seksual berjumlah ratarata 298.224 per tahun.20 Konstruksi sosial budaya masyarakat yang patriarkhis menyebabkan warga negara yang paling menjadi korban kekerasan seksual bukan saja  perempuan dewasa,tetapi juga perempuan dalam usia anak.21 Hak bebas dari ancaman, diskriminasi, dan kekerasan merupakan hak yang sangat penting untuk diejawantahkan. Pemenuhan hakini jugaberhubungan dengan hak konstitusional lainnya, yaitu hak atas perlindungan dan hak atas keadilan. Hak atas perlindungan dan hak atas keadilan juga sangat penting untuk ditekankan pelaksanaannya terhadap korban dalam penanganan kasuskasus kekerasan seksual. Sehingga dalam hal ini RUU PPRT juga merupakan upaya untuk mencegah pengingkaran pelindungan terhadap warga negara yang lemah. Komnas Perempuan memiliki kepentingan yang besar untuk mendorong RUU ini disahkan karena mayoritas PRT, yakni 98% diantaranya adalah perempuan yang bekerja di dalam rumah/ ruang tertutup dengan kerentanan yang tinggi. Bahkan karena kerentanannya tersebut, Komite Menentang Penyiksaan dalam mekanisme HAM internasional, menempatkan isu PRT sebagai isu prioritas. PRT seringkali berada dalam situasi seperti tahanan, dengan jam kerja yang panjang, kondisi buruk, dan hak-hak dasar yang terabaikan, termasuk hak beribadah. Oleh karenanya, pelindungan adalah bagian dari itikad Indonesia untuk mencegah penyiksaan.Â
Sehingga Diusulkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual merupakan upaya perombakan sistem hukum untuk mengatasi kekerasan seksual yang sistemik terhadap perempuan. Pembaruan hukum ini memiliki berbagai tujuan, diantaranya (1) melakukan pencegahan terhadap terjadinya peristiwa kekerasan seksual;(2) mengembangkan dan melaksanakan mekanisme penanganan, perlindungan, dan pemulihan yang melibatkan masyarakat dan berpihak pada korban,agar korban dapat melampaui kekerasan yang ia alami dan menjadi seorang penyintas; (3) memberikan keadilan bagi korban kejahatan seksual, melalui pidana dan tindakan yang tegas bagi pelaku kekerasan seksual; (4) menjamin terlaksananya kewajiban negara, peran keluarga, partisipasi masyarakat, dan tanggung jawab korporasi dalam mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual.Â
Namun berbeda halnya dengan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang memiliki hambatan yang mempergaruhi mengapa sampai detik ini juga belum di sahkannya RUU Perlindugan PRT ini, salah satu alasan di jelaskan dari Dede Yusuf selaku Ketua Komisi IX DPR, dimana DPR sampai sejauh ini belum membahasnya, karena pihaknya harus memprioritaskan rancangan undang-undang disepakati untuk dibahas lebih dahulu. RUU perlindungan PRT ini Masih di dalam antrean program legislasi nasional (prolegnas).Â
Sejatinya RUU Ini telah dua kali berhasil dimasukkan ke dalam prioritas prolegnas, namun karena ada beberapa RUU yang juga berstandari Prioritas yang juga harus di tuntaskan, dan RUU PRT adalah prioritas yang keempat. namun yang di lakukan pihak parlemen yang saat ini dibahas adalah prioritas satu dan dua, yang tiga dan empat tidak bisa masuk karena pembahasan (RUU) satu dan dua belum juga selesai. Dalam fakta empirisnya dimana ketika DPR akan memasukkan RUU PRT untuk dibahas, tiba-tiba adaÂ
RUU lain yang lebih urgent (penting) yang diminta untuk dimasukkan. Hal ini membuat RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga bergeser lagi dari program yang di kerkan terlebih dahulu. Ketua Komisi IX DPR, Dede Yusuf menjelaskan bahwa DPR sampai sejauh ini belum membahasnya, karena pihaknya harus memprioritaskan pembahasan sejumlah RUU yang disepakati untuk dibahas lebih dahulu. Dan faktor lain yang disebutnya menghambat pembahasan RUU tersebut adalah keterbatasan DPR dalam menyelesaikan pembahasannya. Dan kemampuan pembahasan UU itu memang dalam setahun hanya dua UU. Hal ini di jelaskan oleh Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Willy Aditya yang mengatakan RUU PPRT dibutuhkan untuk memberi perlindungan hukum terhadap kelompok minoritas yang bekerja sebagai asisten rumah tangga.Â
Willy menjelaskan dalam pembahasan daftar prolegnas prioritas terjadi dinamika yang alot. Ada permintaan dari dua partai besar yang meminta agar RUU PPRT tak dimasukan ke dalam prolegnas prioritas 2021 Willy23, informasi yang dikumpulkan dua partai besar yang menolak agar RUU PPRT masuk dalam prolegnas 2021 saat rapat kerja dengan Menteri Hukum dan HAM, adalah PDI Perjuangan dan Partai Golkar. Dalam rapat kerja itu, Willy yang merupakan ketua panja bersedia pasang badan dan menolak bila RUU PPRT itu tak masuk daftar prolegnas 2021. Maka rapat kerja pun akan kembali diulang Dismaping itu tidak berhasilnya Undang Undang Ini bahwa budaya lokal yang khas ini harus menjadi bahan pertimbangan tersendiri dalam penyusunan RUU PPRT., Masalah penghitungan Upah juga perlu dipertimbangkan, mengingat bagi PRT juga disediakan akomodasi dan makan di rumah pengguna jasa. Apakah komponen tersebut dimasukkan dalam Upah atau ditempatkan di luar Upah. Artinya perlu pembahasan yang mendalam untuk di sahkannya UU Perlidungan PKRT tersebut.Â
Hal ini dapat kita bandingkan dengan estimasi dan efisiensi waktu tidak rasional, jika kita bandingkan dengan Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 tahun 2020 yang terdiri dari 15 bab yang di bahas dalam waktu yang singkat, hal ini mencerderai hak- hak rakyat, dimana para elit politik terllu memprioritaskan kepentingan belaka, dimana Para PRT yang terus mengalami stereotip, kekerasan, diskrimanasi, dan eksploitasi di tempat kerjanya yang dianggap privat, dan tak tersentuh mata, telinga, dan tangan publik. Persoalan yang lebih kompleks terkait sejauhmana kita, dan DPR, memahami perlindungan hak-hak PRT sebagai kepentingan publik. Banyak di antara kita yang menganggap bahkan anggota DPR tidak terkecuali, memandang persoalan PRT termasuk kebutuhan akan perlindungan hak-haknya merupakan urusan remeh temeh.
 Atas hal tersebut telah membuktikan kegagapan pemerintah sebagai stake holder yang bertugas untuk memenuhi hak rakyat yang semakin hari semakin menggrogoti dan menderogasi hak hak warga negara yang pada implementasinya tidak ada kepastian hukum yang diberikan sebagaimana amanat konstitusi yang berlaku di Indonesia. Pemerintah juga belum mampu merespon kebutuhan perlindungan bagi pekerja rumah tangga, dimana tidak memberikan manfaat, karena masih ada anggapan bahwa pekerja rumah tangga bukan termasuk wilayah pekerja, sehingga ini mencederai ruh demokrasi khususnya konstitusi tertinggi UUD tahun 1945.Â
Dimana tidak adanya instrumen yang mengkapanyekan bahwa mereka itu adalah bagian dari pada pekerja, sehingga secara normatif yang terkandung dalam prasa UU Ketengakerjaan tidak menjelaskan tetang pekerja rumah tangga. atau hanya menjamin. Dengan demikian bahwa kegunaan dan kemanfaatan hukum tidak hanya dilihat dari kacamata kepentingan pemegang kekuasaan (negara) melainkan juga harus dilihat dari kacamata kepentingan-kepentingan pemangku kepentingan (stakeholder), dan kepentingan korban-korban (victims)26. Hal ini menimbulkan banyaknya hak yang terabaikan oleh pemerintah yang belum mampu menjadikan representatif dari pada tujuan negara agar menciptakan negara yang sejahtera atau walfare state.