Mohon tunggu...
Sukmawati
Sukmawati Mohon Tunggu... Jurnalis - Bukan siapa-siapa

Suka melancong

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Vlomaya Kolaborasi dengan Linihijau Foundation, Ajak Pelihara Lingkungan

5 Juli 2023   16:54 Diperbarui: 5 Juli 2023   17:00 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya lingkungan yang sehat serta ajakan melestarikan bumi, karena kerusakan lingkungan sekitar sudah pasti berdampak negatif bagi makhluk hidup termasuk perubahan iklim atau alam akibat ulah manusia serta kejahatan yang mengganggu keanekaragaman hayati seperti penggundulan hutan, perubahan penggunaan lahan, serta kejahatan lainnya yang dapat mempercepat kehancuran alam, adalah menjadi alasan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Mendeklarasikan Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang jatuh pada setiap 5 Juni.

Maka melihat pentingnya lingkungan yang sehat tersebut, tak berlebihan rasanya jika kita atau masyarakat dari segala profesi perlu diingatkan atau disadarkan kembali, karena manusia juga merupakan mahluk yang pelupa atau kurang kesadaran?

Seperti yang disampaikan Kang Bugi selaku Ketua Vlomaya (Vlogger Kompasiana Pemerhati Budaya) mengatakan, "Walaupun Hari Lingkungan Hidup Sedunia sudah lewat beberapa waktu lalu, tetapi tidak ada salahnya jika kita mencoba mengingatkan lagi dalam suatu kegiatan. Apalagi hal-hal yang terkait dengan Lingkungan Hidup terutama lingkungan di sekitar kita harus terus menerus digalakkan."

Maka pada Sabtu, 1 Juli 2023 di Gedung CTSS Jl. Prof. Andi Hakim Nasution Bogor, Vlomaya kolaborasi dengan Linihijau Foundation (organisasi yang bergerak dibilang lingkungan hidup) mengadakan acara 'ngobrol santuy' secara online dan offline tentang "Bagaimana Lingkungan Indonesia dari Kacamata Scientist Traveler" dalam rangka memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia.

r

Dokpri Kang Bugi
Dokpri Kang Bugi
Hadir di antaranya Kompasianer, blogger, atau yang aware dengan isu lingkungan hidup, juga seorang peneliti yang sudah cukup lama berurusan dengan satu-satunya kera besar yang hidup di Asia tepatnya di Indonesia dan Malaysia bagian Serawak dan Sabah yaitu orang utan, sekaligus kesehariannya sebagai traveler dan sudah melanglang buana ke berbagai tempat termasuk di berbagai belahan dunia dalam kaitannya dengan pekerjaannya pun sebagai traveller.

Beliau adalah Rondang S.E. Siregar, PhD. Pakar di bidang Konservasi dan Sumber Daya Alam. 

"Sebenarnya saya agak kaget, waktu diminta Pak Bugi untuk share pengalaman, karena saya pikir masih banyak orang yang punya pengalaman lebih dari saya termasuk travel saya juga masih tanggung, masih sedikit" kata Ibu Rondang Siregar, agak merendah, sebelum sharing pengalamannya lebih jauh.

Namun dalam perjalanan karirnya beliau mengaku, Albert Einstein memberinya inspirasi dan menyukai pembelajarannya. Yaitu "Learn from yesterday, live for today, hope for tomorrow. The important thing is not to stop questioning" Belajar dari kemarin, hidup untuk hari ini, berharap untuk besok. Yang penting jangan sampai berhenti bertanya.

Lanjut cerita, usai lulus dari Fakultas Biologi Universitas Nasional Jakarta tahun 1983, karena merasa belum pintar seperti penuturannya, maka kembali melanjutkan studinya di Cambridge University, Inggris dengan mendapat beasiswa. Usai mengenyam pendidikannya disana dan ada masa training, sehingga menghantarkannya berangkat ke Amerika belajar tentang perilaku hewan. Jika menyoal hobi, diantara hobi-hobi lainnya, traveler adalah yang utama.

Seperti ada istilah yang tidak asing lagi kita dengar, dikatakan "Sekali Merengkuh Dayung, Dua Tiga Pulau Terlampaui". Dan sepertinya itu pula yang terjadi, bekerja dan sambil traveling.

Dalam travelingnya ke berbagai negara sambil bekerja, sudah pasti mengamati situasi dan kondisi lingkungan sekitar termasuk melihat bagaimana perilaku masyarakat atau orang-orang yang dijumpai.

Menurutnya, ada beberapa perbedaan dan persamaan dalam beberapa hal di setiap negara yang dijumpai. Jika menyangkut tentang lingkungan seperti kebersihan, di Indonesia masih kurang budaya buang sampah pada tempatnya.

"Kalau menyangkut hal ini (masalah sampah) sebenarnya bukan saya ahlinya, tetapi melihat masih kurang tertibnya masyarakat kita dalam hal membuang sampah, menurut saya harus ada penegak hukum dan harus benar-benar dipegang, jika ada yang melanggar hukum harus dihukum tidak ada kompromi," Tegas Ibu Rondang Siregar.

Termasuk budaya mengantri juga penting dan ini pun masih kurang di Indonesia. Beliau memberi contoh begitu kagum melihat ada orang tua bertato kanan kiri di negara lain, membawa anaknya hendak ke museum meskipun untuk masuk kesana harus mengantri dan itu dilakukan.

Ibu Rondang Siregar berharap supaya budaya mengantri dan budaya buang sampah pada tempatnya, harus lebih ditingkatkan atau bisa dihimbau lewat media sosial, secara sekarang jamannya media sosial sehingga sangat cepat untuk menyampaikan sebuah informasi.

"Mari kita bersama-sama menjaga lingkungan yang tersisa agar anak cucu kita masih bisa menikmati apa yang kita nikmati saat ini dan tidak mengetahui indahnya alam lingkungan kita hanya dari ensiklopedia," Pesan Ibu Rondang Siregar.

Beliau kembali bercerita dari sekian banyak hewan, beliau adalah penyuka "monyet". Monyet memang hewan yang sangat sosial, dan hampir semuanya hidup dalam pasukan yang terdiri dari beberapa betina dengan anak dan jantan tunggal atau beberapa jantan. Biasanya, betina tinggal di pasukan tempat mereka dilahirkan dan dengan demikian memiliki hubungan erat satu sama lain.

Dan jika flashback berawal dari sang ayah yang suka membacakan buku Gerard W Durrel seorang naturalis asal Inggris dengan bukunya yang berjudul My Family and Other Animal, sehingga membuatnya terkesan dan mulai mengoleksi makhluk-makhluk kecil seperti kupu-kupu, cicak, kecoa, lipan, kodok, sampai ular pucuk, yang membuat ibunya kerap mengomel sebelum memberikan wadah botol untuk menyimpan koleksi-koleksinya, kala itu.

Ketertarikannya dengan segala sesuatu yang berbau makhluk hidup didukung oleh orang tuanya termasuk melakukan kegiatan di luar rumah seperti pramuka dan pecinta alam semasa duduk di bangku sekolah.

Juga terinspirasi seorang ahli kera besar Chimpanzee yang di Afrika, Chimpanzee yaitu Dr. Jane Goodall. Buku yang berjudul in the Shadow of Man, membuatnya mengidolakan Jane dan selalu mencari-cari saat Jane memberikan kuliah umum di Amerika dan Inggris tempatnya training Animal Behavior dan melanjutkan Pendidikan Postgraduate nya.

"Mencari sekolah yang bisa jalan-jalan dan jalan-jalan sambil sekolah, adalah prinsip saya saat itu," Kata Ibu Rondang Siregar. 

Sehingga rela membawa mesin tik untuk mengerjakan tugas meskipun sedang berada di kaki Gunung Gede atau Gunung Salak yang jaraknya relatif dekat dari Jakarta, ini kala masih duduk di salah satu perguruan tinggi di Jakarta.

Dimana kepindahannya ke Jakarta untuk kuliah usai lulus SMA di Jogja, menurutnya adalah 'hukuman' dari orang tuanya yang sudah kewalahan melihat kesukaannya naik gunung selain musim ujian dan sering ke kediaman almarhum Mbah Marijan juru kunci gunung Merapi saat itu.

Namun, tampaknya sang orang tua lupa, jika ada Gunung Gede Pangrango dan Salak dekat dengan Jakarta, dan menjadi pos baru tempat bermain dan bertemu sesama pencipta alam yang akhirnya pada tahun 1986 bergabung dengan satu kelompok pendaki gunung, Wanadri, yang berpusat di Bandung.

Lulus kuliah sempat bekerja di pulau yang berada di Selatan, dengan jarak tempuh 1 jam 10 menit dari Muara Binuangeun, Jawa Barat dengan Pusat Studi Satwa Primata. 

Dimana jadwal kerjanya 2 minggu bekerja dan 1 minggu libur, hanya 9 orang yang bekerja, sementara ada sekitar 500 ekor monyet ekor panjang di pulau seluas 600 hektar, yang harus diurus. 

Monyet tersebut sengaja dikembangbiakkan untuk penelitian biomedis, karena ada peraturan untuk tidak mengambil satwa langsung dari alam. 

Sempat tinggal di tempat terpencil selama kurang lebih 4 tahun membuatnya harus kreatif menghibur diri sendiri yang akhirnya menjadikan menulis sebagai hiburan selama menunggu malam dan lampu generator dimatikan.

"Jika saya menoleh ke belakang sering takjub, dimana tempat-tempat penginapan terbatas, terkadang transportasi juga terbatas, namun tetap dinikmati dan tantangan terasa lebih banyak dan berarti jika dibandingkan sekarang banyak pilihan apakah itu tempat dan transportasinya." Cerita Ibu Rondang.

Beliau pun akhirnya kembali ke Indonesia karena pilihan, selain membayar kepada negara juga pilihan profesi yang semakin mantap membuat Indonesia menjadi pilihan terbaiknya.

Lalu bergabung dengan LSM konsultan sampai dengan 2 pusat studi di UI, Pusat Studi Perubahan Iklim, dan IPB, Center of Transdiciplinary Sustainable and Science. Disini kembali memberinya kesempatan berjalan-jalan sambil bekerja dan bekerja sambil berjalan-jalan baik di dalam negeri maupun luar negeri atau beberapa negara.

Saat berada di luar negeri, mengaku lebih suka bepergian sendiri ketimbang bersama group, karena perbedaan minat dengan peserta lain. 

Baginya melihat museum, tempat-tempat ibadah, perpustakaan, universitas-universitas setempat, kota tua dan icon-icon kota atau negara, gunung, pantai adalah tujuan yang sangat dinikmati dalam setiap perjalanannya.

Beliau memaparkan setiap perjalanannya. Seperti ke Museum yang berkesan di Washington City, dimana pertama masuknya orang-orang Afrika. 

Begitupun kala ke India, mendapat pengalaman tak terlupakan, hendak ke Kashmir karena menyukai Kashmir, rupanya setiba disana ada perang sehingga perjalanan hendak pulang dihadang oleh orang Kashmir dengan pakai tongkat dan gadang juga melempari batu, selidik punya selidik ada panglima yang meninggal, maka supaya bisa kembali pulang harus menunggu tentara India. 

Kejadian tersebut pun diminta supaya beritanya tidak menyebar luas, namun ada seorang Belanda memposting sehingga beritanya keluar. Selama.3 hati mereka harus tinggal di rumah perahu di danau dikelilingi militer setempat.

Sementara waktu ke Rusia, kala itu menurutnya kurang enjoy, namun masih ada keinginan berkunjung kembali untuk melihat stasiun bawah Tanah yang menurut informasi bagus tapi belum terekspos.

Sempat juga diminta mengajar di salah satu kapal pesiar. Biasanya di malam hari adalah entertainment atau hiburan seperti dansa dan semacamnya. Seketika mindset nya diubah menjadi belajar tentang kebudayaan lingkungan oleh pemiliknya.

Demikian cerita Ibu Rondang Siregar, dan masih banyak tempat-tempat yang dikunjunginya.

Karena menurutnya bepergian adalah untuk hidup.

Dokpri Ibu Rondang
Dokpri Ibu Rondang
"Eksplorasi waktu saya belajar mendapat pengalaman baru dan evaluasi diri adalah motivasi dalam melakukan kegiatan-kegiatan perjalanan

Merasa lebih kenal dan mengerti diri sendiri serta lingkungan, itu refleksi dan kesimpulan setiap akhir dari perjalanan.

Maka, mari kita bersama-sama menjaga lingkungan kita yang tersisa, agar anak cucu kita masih bisa menikmati apa yang kita nikmati saat ini dan tidak mengetahui indahnya alam lingkungan kita hanya dari ensiklopedia." Pesan Ibu Rondang Siregar kembali.

"Jaga lingkungan! Pelihara lingkungan di sekitar kita! Cintai lingkungan kita! Demikianlah semangat kita untuk meningkatkan 'concern' kita terhadap lingkungan." Imbuh Kang Bugi. 

Yuk..... Kita peliharaan lingkungan kita !!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun