Mohon tunggu...
TH Sulaeman
TH Sulaeman Mohon Tunggu... profesional -

Civil worker, level kacung pada sebuah lembaga keuangan.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Bisingnya Berita tentang Pajak...

11 Mei 2012   08:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:27 858
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belum lama ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menjadi fokus pemberitaan media. Persepsi masyarakat yang sudah sejak lama memandang negatif institusi ini semakin diperparah oleh beberapa kasus yang muncul belakangan. Dimulai kasus Gayus yang sangat fenomenal dan diikuti oleh beberapa kasus lain yang silih berganti berdatangan. Opini-opini para tokoh nasional yang bermunculan di media massa, selama ini cenderung menyudutkan posisi DJP. Dari sekian banyak media yang ada, sangat jarang kita jumpai berita positif tentang DJP. Ibarat seorang manusia yang sedang diserang, rupanya DJP lebih bersifat pasif dan pendiam. Tidak adanya perlawanan atau respon yang memadai dari institusi sebesar dan sepenting DJP, membuat publik mudah termakan oleh opini-opini yang sebenarnya belum tentu benar. Perlunya respon atas pemberitaan negatif sebenarnya bukan untuk melakukan pembelaan atas kejahatan yang telah terjadi di tubuh DJP, tetapi semata-mata untuk memberikan informasi yang benar dan untuk meredam tingkat emosi masyarakat, serta untuk memotivasi kalangan internal agar tetap tenang dalam menjalankan aktifitas kerja mereka. Kebisingan lalu lintas berita negatif tentang pajak, sedikit banyak telah mengganggu motivasi kerja para pegawainya dalam upaya mengumpulkan sekitar 79% sumber APBN. Kasus-kasus yang silih berganti berdatangan pasti menjadi beban moral bagi sekitar 32.000 pegawai DJP yang tersebar diseluruh Indonesia. Dalam hal pemberitaan, kasus pajak apapun itu bentuknya, rupanya menjadi favorit media massa untuk menjaring pembacanya.

Ketika DJP betindak pasif dalam pemberitaan negatif, maka ada dua kemungkinan yang akan terjadi. Pertama, sikap pasif DJP justru membuat semakin gencarnya serangan-serangan bagi institusi ini. Pembiaran atas kebisingan berita negatif, dikhawatirkan akan memicu munculnya serangan “titipan” dari para oportunis, yang memiliki masalah pribadi dengan perpajakannya. Saya yakin, masih banyak para tokoh di negeri ini yang belum jujur dalam melaporkan kekayaannya. Rumah, mobil mewah, dan seluruh penghasilan baik itu dari hasil korupsi, fee proyek, baik yang halal maupun haram yang dikuasai, belum tentu dengan jujur mereka laporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan pribadinya. Bahkan bisa jadi ada beberapa tokoh yang sama sekali belum pernah melaporkan SPT Tahunannya. Jika para pengkritik masih mempunyai masalah dengan urusan perpajakannya, bisa dipastikan serangannya atas intitusi DJP akan ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompoknya.

Jika DJP sekuat dan ditakuti seperti halnya Internal Revenue Service yang ada Amerika Serikat, mungkin para pengusaha dan politisi yang tidak jujur harus mulai berhitung dari sekarang, karena di Amerika Serikat, pada tahun 2009 seorang calon menteri kesehatan yang bernama Tom Daschle, harus rela mundur karena lalai atas pembayaran pajak sebesar US$ 120.000 di tahun 2002-2007. Ini menjadi contoh nyata, DJP yang kuat dan disegani, bisa menjadi batu sandungan bagi siapapun juga. Dari kejadian tersebut, kita bisa memaklumi mungkin ada beberapa orang yang bermasalah dengan pajak yang merasa terancam eksistensinya jika DJP semakin kuat dan solid. Sebenarnya cukup mudah bagi DJP untuk melakukan serangan balik bagi para pengkritik nakal tersebut, karena DJP memiliki record pelaporan semua Wajib Pajak.

Kemungkinan kedua jika DJP pasif atas pemberitaan negatif adalah, masyarakat akan membenarkan berita-berita negatif yang beredar. Karena kesalahan yang disampaikan berulang kali, akan menjadi sebuah kebenaran. Jika masyarakat sudah termakan opini yang salah, dikhawatirkan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan akan ikut berkurang. Dan tentu berimbas kepada seretnya penerimaan Negara. Jika penerimaan APBN tersendat tentu roda pemerintahan terganggu, dan yang pasti mafia anggaran penyunat dana proyek ikut menjerit karena tidak ada lagi dana yang dikorup. Padahal jika kita melihat dengan jujur, ada banyak sekali perubahan yang telah terjadi di DJP, dimulai sejak era Sri Mulyani. Proses metamorfosa inilah yang kurang tersampaikan kepada khalayak umum. Karena bisa dimaklumi, dalam hal pelayanan misalnya, hanya pemilik Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) saja yang merasakan dampak langsung modernisasi institusi perpajakan. Padahal, sebagian besar masyarakat masih belum memiliki NPWP. Artinya hanya sebagian kecil masyarakat saja yang bisa merasakan dampak perubahannya, sedangkan sisanya, tidak pernah mengerti, merasakan dan mengetahui modernisasi yang telah terjadi dikantor-kantor pajak.

Maka, disinilah tugas DJP untuk mengubah cara berkomunikasinya dengan masyarakat. Selain tetap menjalankan fungsi pengawasan terhadap para pegawainya, fungsi edukasi dan public relation yang handal dan piawai menjadi kunci untuk mengurangi kebisingan berita negatif tentang pajak. Kita semua berharap, agar DJP dapat bekerja tanpa gangguan dan terhindar dari serangan-serangan yang dilancarkan oleh orang-orang dan kelompok yang tidak bertanggung jawab, yang semata-mata mengalihkan perhatian publik atas kasus-kasus yang lebih besar. DJP yang kuat, adalah harapan rakyat banyak, karena dari pajaklah negara kita bisa eksis. Dana pembangunan, subsidi energi, pendidikan, kesehatan, infrastruktur, gaji PNS, TNI dan alutsistanya, Polisi dan pistolnya, Jaksa, dan Hakim berasal dari pajak yang dikumpulkan oleh DJP, bukan dari warisan simbah, bukan dari hasil pemerasan, dan bukan pula hasil dari Sim Salabim prok, prok, prok, ala Pak Tarno…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun