Mohon tunggu...
TH Sulaeman
TH Sulaeman Mohon Tunggu... profesional -

Civil worker, level kacung pada sebuah lembaga keuangan.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kopiah Hitam, Sebuah Kenangan; Dulu & Sekarang

9 Maret 2012   08:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:19 688
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu, sangat mudah kita jumpai orang yang menggunakan kopiah. Hampir semua orang tua memiliki kopiah. Bisa jadi, saat itu adalah masa-masa kejayaannya, pergi solat, pengajian, kondangan, kenduri, ambil rapot disekolah, rapat RT, kepasar atau kerja bagi guru dan PNS. Hampir semuanya, ditemani dengan kopiah. Kopiah bahkan bisa jadi sebuah identitas atau lambang kebaikan dan kesolehan bagi pemakainya. Malu rasanya melakukan hal yang tak patut ketika dikepala masih terpasang kopiah hitam. Karena menjadi sebuah lambang kesolehan itulah, maka jangan heran, banyak pengemis, peminta sumbangan dan bahkan penjahat yang sedang disidang kompak rame-rame pakai kopiah dalam menjalankan perannya. Mungkin dipikirnya orang akan tersentuh melihat orang soleh yang sedang kesusahan, atau pak hakim akan sedikit berfikir ulang ketika akan menjatuhkan vonis bagi sipenjahat yang kelihatan soleh dari tampang luarnya.

Dibalik perannya yang bermacam-macam, kopiah juga menyimpan fungsi rahasia bagi para orang tua jaman dulu, yaitu; sebagai penyimpan uang kertas dan sebagai tempat menyelipkan rokok jarahan sisa acara kenduri kampung. Atau, bisa berubah fungsi jadi tempat nampung jeruk, duku, salak dan macam-macam jajan pasar, sepulang dari acara yasinan (pengalaman pribadi). Kini kopiah sudah mulai jarang kita lihat. Jangan-jangan, popularitasnya meredup seiring turunnya Soeharto dari tampuk kekuasaan. Jika diurut dari awal, dugaan saya; jaman Soekarno-lah era keemasan kopiah. Kegarangan Soekarno diatas mimbar, semakin terlihat khas dan berkarakter dengan kopiah hitam kokoh dikepalanya. Tidak ada salahnya, orang Asia Tenggara harusnya berterimakasih kepada Soekarno, karena sedikit banyak, Soekarno ikut andil mempopulerkan kopiah ke mancanegara, yang membuat kopiah seakan lekat menjadi identitas Indonesia, Melayu dan Asia Tenggara pada umumnya. Terlepas kopiah mendapat pengaruh dari budaya Islam jaman Utsmani, dan juga dikenal dibeberapa negara timur tengah, kopiah Indonesia tentu punya ciri khas berbeda yang tidak bisa dipersamakan dengan yang lainnya. Disaat negeri jiran Malaysia masih belum merdeka, Indonesia, Soekarno dan kopiahnya, sudah malang melintang di jagat politik internasional. Foto Soekarno dan kopiahnya seolah jadi satu paket yang tak terpisahkan, seperti foto Hasan Al Bana, tokoh Ikhwanul Muslimin Mesir yang juga selalu berkopiah hitam mirip dengan Soekarno, atau Agus Salim, tokoh nasional yang mempunyai cirikhas janggut panjang di kebanyakan foto-fotonya.

Kini, kopiah benar-benar kehilangan pamornya, setelah Soekarno dan Soeharto telah tiada. Penerusnya, tidak ada yang pas dengan tampilan kopiahnya, Presiden Habibi, sedikit miring dalam menggunakan kopiah, Megawati tidak mungkin pakai kopiah, Gus Dur lebih sering pakai kopiah anyaman, dan SBY tidak konsisten dalam penampilannya, kadang kopiah, kadang tidak, malah kelihatan lebih sering tidak menggunakannya. Maka, yang diingat dari SBY bukan kopiah hitamnya, tapi kacamata besar yang bermodel mirip Hu Jiantao Presiden China.

Kini, dalam sebuah solat jumat, aku perhatikan hanya beberapa orang saja yang masih setia dengan penutup kepala ini. Itupun kebanyakan dipakai oleh generasi yang sudah tidak muda, ubanan dan maaf, sedikit batuk-batuk karena faktor usia. Tren kopiah sudah digeser dengan penutup kepala yang warna warni, simple, bisa dilipat dan disaku ketika tidak digunakan.

Diteras rumah, aku menerawang jauh kebelakang, sepasang kopiah hitam yang baru aku beli kemarin, mengingatkan kopiah almarhum bapakku dulu yang sudar pudar warnanya, dan mengingatkan aku juga pada kopiah pemberian bapak sebagai hadiah sunatanku dulu.

Ah, sungguh sedih rasanya, bahkan aku belum sempat membelikan kopiah untuk bapakku. Pakne.., melalui kopiah ini, aku teringat tentangmu, tersayat-sayat rasanya hatiku, mengingat kopiahmu. Sungguh, bukan maksudku untuk tak ingin membelikanmu. Maafkan aku Pakne, engkau meninggalkanku sebelum aku mampu berbuat banyak untukmu. Dengan kopiah ini, aku dan cucumu berdoa untuk kebaikan njenengan disana. (1935-1998)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun