Mohon tunggu...
TH Sulaeman
TH Sulaeman Mohon Tunggu... profesional -

Civil worker, level kacung pada sebuah lembaga keuangan.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kotak amal Jumat : dulu, sekarang dan masa depan

25 November 2011   07:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:13 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada perbedaan mencolok antara kotak amal jumat dulu dan sekarang. Dulu ketika masih kecil, iseng-iseng jika aku perhatikan, setiap jamaah rata-rata mengisi dengan uang koin seratus rupiah atau bahkan lima puluh rupiah, makanya kotak amal yang kebanyakan terbuat dari kayu selalu berbunyi “thok, thok… “ setiap mampir ke jamaah solat jumat ketika diedarkan.  Kalau ada kotak amal yang enggak bunyi seperti itu dan berhenti lamaaaaa…. di jamaah tertentu yang terkenal sugih, maka bisa diduga, yang bersangkutan ngisi uang limaratusan atau seribu rupiah dalam bentuk lembaran. Tahun 85 sampai 90-an ngisi kotak amal seribu rupiah dan ikhlas, insyaAllah menurutku sudah termasuk top markotop lah.

Biasanya momen memasukkan koin ke kotak amal, adalah momen seminggu sekali yang ditunggu anak-anak, begitu juga aku yang kadang minta ke almarhum Bapak disebelahku, agar aku saja yang memasukkan koin itu. Kalo kotak amal berlalu dengan cepat melewati jamaah tanpa bunyi “thok… “ maka bisa dipastikan jamaah tersebut tidak ngisi kotak amal. Ketika orang dewasa sibuk ngantuk atau pura-pura denger khutbah, justru aku sibuk ngitung kira-kira berapa isi uang dalam kotak amal tersebut. Sepuluh kali bunyi, berarti si kotak terisi kira-kira seribu rupiah. Sampai kebelakang aku ikuti terus kotak amal, sambil niteni berapa kali kotak tidak berbunyi…

Nah, rupanya sekarang keadaannya sudah beda. Tadi siang, disaat jamaah lain sibuk tidur beneran ditengah-tengah khutbah, aku juga iseng memperhatikan kotak amal jumat yang sedang berkeliling menghampiri para jamaah. Tadi aku perhatikan, sejak kotak start sampai finish tidak ada satupun bunyi keras “thok…” seperti masa kecilku dulu… dalam hati, wah rupanya sekarang udah pada ngisi minim seribu rupiah ke kotak amal. Dibanding dulu, kotak amal jumat jaman sekarang lebih lambat jalannya, karena tiap mampir ke jamaah selalu “di uyel-uyel” dulu pake dua tangan (yang kanan njejel2li, yang kiri berusaha nutupi). Kotak amal jumat sekarang juga sulit ditebak berapa isinya, karena semuanya ngisi dengan uang dalam bentuk kertas, ada yang seribu atau dua ribu, lima ribu atau bahkan lebih.

Sepintas, orang sekarang kelihatan hebat dibanding orang jaman dulu yang cuma ngisi seratus rupiah. Padahal belum tentu lho…  seratusnya dulu, bisa jadi senilai dua ribu-nya sekarang… karena aku inget suka dimintai tolong Emak beli minyak tanah, seliter saat itu dua ratus rupiah. Gak peduli ngitung subsidi, yang penting jaman segitu minyak tanah dua ratus perak. Dan uang seratus perak diusiaku saat itu, masih sangat luar biasa berharga. Titik.

Bagaimana kotak amal jumat dimasa depan? hasil obrolan dengan teman, malah tercetus bahwa dimasa depan, bisa jadi kotak amal jumat tinggal gesek kartu saja. Aku selalu membayangkan, nanti yang beredar bukan sebuah kotak butut lagi, tapi sebuah mesin semacam electronic data capture yang model nirkabel. Jamaah tinggal menggesekkan dengan kartu pecahan tertentu, atau memasukkan nominal dengan mengetik saja, gesek… gesek… dan semakin sulit saat itu untuk menerka, berapa jumlah yang di sumbangkan.

Barakallah… weittts… khutbahnya sudah selesai… belum sempet ngantuk malah udah selesai. Astagfirullah…

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun