Resensi Buku
Judul buku : Revolusi dari Desa, Saatnya dalam pembangunan Percaya Sepenuhnya kepada Rakyat
Penulis : DR. Yansen TP.,M.Si
Editor : Dodi Mawardi
Cetakan : I, 2014
Penerbit : PT Elex Media Komputindo, Kelompok Gramedia
Tebal buku : x + 178 hal
ISBN : 978-602-02-5099-1
Harga : Rp 54.800,00
Sebagai negara agraris, Indonesia adalah negeri yang dilimpahi dengan setumpuk anugerah kekayaan. Koes Plus, grup band yang populer pada tahun 1970-an, pernah menggambarkan betapa luar biasanya kekayaan Indonesia melalui lirik lagunya. “Tongkat kayu dan batu jadi tanaman” mereka gunakan untuk menggambarkan betapa suburnya negeri ini. Lirik itu memang di luar logika. Namun sangat pas untuk menunjukkan bahwa tanah Indonesia (utamanya di desa) sangatlah makmur. Bayangkan, batu saja bisa jadi tanaman !
Tapi ironisnya konsep pembangunan desa yang dikembangkan sejak masa Orde Baru hanya sekedar “lipstik” saja. Demikian pula pada orde reformasi, pembangunan lebih banyak dilaksanakan di perkotaan, sebab masyarakat desa tidak memiliki akses kepada para pembuat kebijakan publik. Para politisi datang ke desa menjelang pemilihan umum untuk meraih suara, setelah duduk di parlemen mereka lebih dekat dengan para pengusaha yang mampu menjanjikan sesuatu yang mereka perlukan untuk meraih dukungan publik pada putaran berikutnya. Ritual seperti itulah yang terjadi setiap lima tahunan, yang membuat desa dan masyarakatnya tetap saja tertinggal.
Menurut data World Bank tahun 2011, terdapat 56,5% dari 237 juta penduduk Indonesia (sekitar 134 juta) masuk kategori kelas menengah. Sedangkan berdasarkan data BPS tahun 2012, diperoleh angka bahwa ada 12,36% penduduk Indonesia masuk kategori miskin dan 12% masuk kategori hampir miskin. Kalau kedua kategori tersebut disatukan, ada sekitar 25% penduduk Indonesia yang miskin. Dan sebagian besar orang miskin tinggal di pedesaan
Kondisi itulah yang mengundang keprihatinan seorang birokrat ilmuwan dan ilmuwan birokrat, Dr. Yansen, TP.,M.Si. untuk menulis buku Revolusi Dari Desa ini. Keprihatinan Bupati Malinau terpilih untuk masa jabatan 2011-2016 ini memang cukup beralasan. Perlu diketahui, Malinau adalah kabupaten terluas di provisnsi Kalimantan Utara. Luasnya mencapai hampir 40.000 kilometer persegi, sementara luas provinsi DKI Jakarta hanya 661 kilometer persegi. Persoalan pemenuhan kebutuhan masyarakat, penyelenggaraaan pemerintahan dan pembangunan di berbagai bidang, belum secara hakiki dapat diatasi. Pola pembangunan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (for the people, from the people, and by the people) yang selama ini digaungkan, belum dapat diwujudkan.
Keprihatinan lain yang dikemukakan Camat Peso pada tahun 1998 ini adalah munculnya persoalan baru, sebagai akibat dari kebijakan yang kurang konsisten dan tidak berkelanjutan. Persoalan kemiskinan, pengangguran, rendahnya kualitas sumber daya manusia, keterbatasan infrastruktur, dan pertumbuhan ekonomi semu merupakan persoalan klasik dan silih berganti yang dihadapi oleh semua daerah.
Keprihatinan itu baru sekelumit kisah dari persoalan besar tentang pembangunan desa. Sebab pada aras yang lain, fenomena sosial dan ekonomi masyarakat desa merupakan sesuatu yang sangat dilematik. Secara teori, kehadiran industri besar akan berpengaruh terhadap masyarakat di sekitarnya. Namun faktanya tidak selalu demikian. Kondisi yang kita saksikan justru sangat mengherankan dan memprihatinkan. Jurang kemiskinan semakin lebar dan sebagian besar masyarakat menjadi sangat termarjinalkan. Kesalahan konsep pembangunan, menyebabkan banyak sekali tujuan pembangunan yang tidak tercapai.
Tetapi bila pembangunan didukung iklim investasi yang bagus, keamanan investasi terjamin, kebijakan anggaran yang kredibel, serta pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, maka revolusi untuk memajukan desa pun siap untuk dimulai.
Buku karya Dr. Yansen TP, Msi. Yang diterbitkan oleh PT Elex Media Komputindo (Kelompok Gramedia) ini sangat menarik. Terdiri dari 7 bab, buku ini disusun secara sangat sistematis.
Pada Bab I dengan judul Pendahuluan : Menggugat Konsep Pembangunan, Dr. Yansen memaparkan adanya kesalahan konsepsi pembangunan, yang menyebabkan banyak sekali tujuan pembangunan tidak tercapai. Yang terjadi justru munculnya persoalan baru, sebagai akibat dari kebijakan yang kurang konsisten dan tidak berkelanjutan. Di halaman 6 ada pesan moral yang sarat makna : kita tidak bisa mengharapkan hasil yang berbeda, jika cara yang kita lakukan sama dengan yang orang lain lakukan.
Pada Bab II dengan judul Teknik Merancang Pembangunan, disebutkan bahwa program GERDEMA sebetulnya memang tidak populer. Menguntungkan masyarakat, tapi tidak bagi kepentingan kekuasaan. Tetapi justru kebijakan-kebijakan ini mengandung nilai strategis, karena masyarakat akan berperan aktif dalam pembangunan.
Pada Bab III dengan judul GERDEMA : Sebuah Revolusi dari Desa, pada halaman 67 diceritakan bahwa dalam kelompok masyarakat tertentu ada istilah “na kareb” atau “tidak ada waktu”. Padahal sesungguhnya mereka memiliki cukup banyak waktu. Sikap ini mungkin hampir kita semua memilikinya, di samping sikap suka menunda pekerjaan, kurang menghargai waktu dan tidak punya motivasi yang memadai. Di bab III ini juga disebutkan bahwa kunci GERDEMA terletak pada kuatnya komitmen dan konsisten pemimpin puncak semua jenjang pemerintahan daerah untuk melaksanakannya.