Mural memiliki multi arti. Bisa sebagai  hiasan,  karya seni, pencerahan, dan hiburan.  Itu bila menurut kalangan awam. Tapi bagi kalangan tertentu mural bisa dimaknai sebagai karya orang yang tidak punya kerjaan, tanpa makna dan  kurang bermutu  menghabiskan  biaya.
Lebih khusus lagi,  mural bagi kalangan elit tertentu dianggap  sebagai karya kurang sopan,  kurang moral, dan juga dimaknai sebagai penghinaan kepada seseorang atau ke kelompok tertentu.
 Alhamdulillah, aku bukan orang elit, bukan pejabat , bukan anak pejabat dan bukan dari golongan ningrat. Aku berasal dari keluarga petani  biasa. Tinggal di desa dan mengajar SMA di desa.  Aku  berusaha berpikir positif bahwa mural  kumaknai sebagi karya seni  ungkapan  expresi diri bahwa manusia itu punya imajinasi. Imajinasi kurang  berarti bila tidak diwujudkan  menjadi  karya seni.
Orang biasa memiliki imajinasi biasa biasa saja. Cita-citanya juga  sederhana: hidup  bersyukur untuk meraih bahagia . Lebih bahagia lagi kalau bisa berguna bagi  sesama manusia.
Menurutku  menjadi  pejabat elit itu ribet. Mereka sering menuntut dirinya selalu punya  kesan  lebih positif di muka masyarakat. Mereka terus menerus  memoles diri, pencitrakan diri tiada henti. Bahkan mereka lebih senang kalau mendapat pujian, galau kalau mendapat celaan. Terkadang juga sebagai pejabat  memaksakan diri jangan sampai  jelek di depan masyarakat . Biasanya  pejabat  senang  bila  jumlah  pendukungnya semakin banyak, susah dan bingung  bila diabaikan  oleh  pendukung  atau masyarakat lainya.
Di saat-saat tertentu, mural yang bernuansa kritikan kepada  pejabat tertentu,  dimaknai sebagai ancaman. Walau terkadang itu berlebihan.  Bisa juga apapun bentuk mural tidak dimaknai dan tidak diperhatiakn oleh pejabat tersebut, karena  bisa juga pejabat tersebut tidak memperhatikan dan tidak  faham makna mural itu. Â
Tapi bisa juga mural itu diterjemahkan  terlalu jauh oleh  anggota keluarga, sanak saudara,  dan pendukungya. Akhirnya mereka menyimpulkan  bahwa  mural  tersebut diterjemahkan sebagai ancaman  bagi nasib mereka  ke depan.  Maka seperti  kutulis di depan bahwa kita harus mampu berpikir positif. Mural seharusnya dimaknai hanya sebatas karya seni kreatif,  kalau ada makna  yang lain harus disikapi positif pula. Tidak perlu kita berprasangka yang berlebihan,  justru  itu akan merugikan kita.
Semua orang  punya hak untuk berandai-andai. Bila  kita menjadi seorang pejabat  dan mengetahui ada mural di lingkungan kita, maka seharusnya :
1.  Memaknai mural adalah sebagai  karya seni yang harus dihargai. 2. Bila ada  nuansa  kritikan pada mural tersebut,  kita seharusnya  berusaha memahami tujuan kritikan itu apa. 3.  Segala masukan harus dimaknai  sebagai  perbaikan dan motivasi  untuk meningkatkan kualitas pekerjaan kita.  4 Memikirkan tentang sesuatu  hal positif  yang bisa kita pelajari dari kritikan itu. 5. Kita seharusnya  bersyukur atas posisi jabatan kita. Sebagai ungkapan  rasa kesyukuran,  kita  seharusnya berusaha menyimak dan memahami pendapat orang lain atau  peduli kritikan  yang membangun.
Ini cuma berandai-andai paling tidak lewat tulisan ini kita  juga perlu refleksi diri. Setidaknya kita salah satunya dari mural, belajar tidak hanya sekedar menjadi baik tapi  kita bisa menjadi lebih mulia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H