Mohon tunggu...
sukarsini ari
sukarsini ari Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis

Psikolog Klinis yang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Depresi pada Anak, Bisakah?

30 Agustus 2020   22:08 Diperbarui: 30 Agustus 2020   22:04 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terdapat 300 juta orang depresi di seluruh dunia. WHO memperkirakan setiap 40 detik terjadi kasus bunuh diri di seluruh dunia yang disebabkan oleh depresi. 

Ada 15,6 juta orang Indonesia mengalami depresi, namun hanya 8% yang mencari pengobatan professional (Detik health). Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa menyebutkan bahwa 1.522 orang Indonesia mengalami depresi akibat Corona (Suara.com).

Menurut Centers for Disease Control and Prevention, 3,2 % anak usia 3-17 tahun di Amerika didiagnosa depresi.  Ini menunjukkan bahwa depresi bukan hanya diderita oleh orang dewasa melainkan terjadi juga pada anak-anak. 

Pada masa anak-anak yang seharusnya bermain bersama dengan teman-temannya, bersenang-senang dengan mainannya serta suka cita dengan orangtuanya justru kebalikannya mengalami depresi. 

Anak dan remaja yang mengalami depresi  memperlihatkan kecemasan, gangguan perilaku, gangguan fungsi sosial dan rendahnya kesehatan fisik dan mental (Maughan et al, 2013).

Kasus anak yang mengalami depresi bukan hanya di Amerika melainkan  juga pernah terjadi di Indonesia. Siswi SMP di daerah Klaten yang tidak lulus sekolah didapatkan gantung diri di rumahnya (solopos.com). 

Kasus depresi lain pada anak juga pernah di jumpai di klinik psikologi dimana penulis bekerja. Suami istri datang ke klinik psikologi mengeluhkan kalau anak sulung laki-lakinya berinisial Budi (bukan nama sebenarnya), usia 10 tahun kelas lima sekolah dasar sulit menerima pelajaran. 

Padahal adiknya yang masih di kelas tiga bisa menjawab dengan lancar.  Adiknya sering membantu kalau kakaknya kesulitan mengerjakan tugas dari sekolah. 

Dua bulan ini ada perubahan perilaku menjadi mudah marah. Saat adiknya tidak sengaja menginjak kakinya, ia menjadi marah besar. Ketika disuruh mengerjakan tugas sekolah selalu beralasan malas dan berkata tidak bisa. 

Ia juga lebih senang di kamar bermain gadget dan tidak senang bermain bersama teman-temannya. Ketika waktu makan, ia juga harus di suruh, ditanya hanya menjawab dengan sepatah dua patah kata, malah banyak dengan menggelengkan atau menganggukkan kepala. Saat diajak makan di luar bersama-sama, ia memilih di rumah dan minta dibungkus saja.

Pada waktu Taman Kanak-Kanak, Budi sering di bully oleh teman-temannya dan tidak berani melawan. Saat Sekolah Dasar, Budi sulit mengikuti pelajaran terutama matematika, sehingga oleh orang tuanya diikutkan les. Ketika belajar dengan guru les itu, kemampuannya bertambah dan nilainya pun meningkat. Budi bercerita pada penulis bahwa ia senang belajar dengan guru les tersebut karena sabar dan tidak suka marah-marah. Sejak balita Budi diasuh oleh nenek dan kakeknya karena ia cucu laki-laki pertama di keluarga.  Nenek dan kakeknya sangat memanjakannya, apapun keinginannya selalu dituruti. Budi juga dididik tidak boleh menangis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun