Mohon tunggu...
Sukarjo Waluyo
Sukarjo Waluyo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Diponegoro, Semarang

Sastra dan Kajian Budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hardiknas 2020 di Masa Pandemi: Membaca Pendidikan Ksatria Jawa dalam Film "Sultan Agung"

7 Mei 2020   00:18 Diperbarui: 7 Mei 2020   01:07 903
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada hal yang menarik pada setiap bulan Mei bagi para pemerhati dan aktivis pendidikan Indonesia. Tepatnya pada setiap tanggal 2 Mei, kita memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Tanggal tersebut terkait dengan tanggal kelahiran sosok Ki Hajar Dewantara (2 Mei 1889) sebagai tokoh pendidikan nasional dan pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan Indonesia pertama (Saat itu masih bernama Menteri Pengajaran Indonesia). 

Sosok kerabat Keraton Pakualaman Yogyakarta dan pendiri Perguruan Taman Siswa tersebut adalah salah seorang tokoh terkemuka pada saat kita membicarakan perkembangan pendidikan Indonesia modern. Perguruan Taman Siswa adalah satu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi kaum pribumi Indonesia untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda pada zaman penjajahan Belanda.

Semboyan yang dipakainya sangat dikenal dalam pendidikan nasional. Semboyan yang terungkap dalam bahasa Jawa tersebut adalah ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani yang bermakna "di depan memberikan contoh, di tengah memberikan semangat, dan di belakang memberikan dorongan". Bagian dari semboyannya, tut wuri handayani, menjadi slogan Kementerian Pendidikan Nasional. Perkembangan dunia pendidikan Indonesia masa kini tentu sudah sangat maju.

Zaman kemajuan ini telah memberikan sumber belajar yang melimpah. Beberapa di antaranya karena perkembangan bidang informasi dan komunikasi. Dengan hanya memasukkan kata kunci (key word), anak-anak sudah bisa berkunjung dari satu pulau ke pulau lain atau berselancar ke berbagai belahan negeri lain. Mereka bisa berada di Danau Toba untuk selanjutnya pindah tempat menyusuri Sungai Amazon di Amerika Latin.

Film Sultan Agung sebuah Film Berlatar Sejarah

Masa pendemi corona (covid-19) yang membuat anak-anak untuk melangsungkan kegiatan pendidikannya di rumah (Work From Home/WFH) seharusnya tidak menyurutkan mereka untuk tetap mendapatkan hak pendidikannya secara memadai. Film adalah salah genre yang tentu saja sangat menarik dan digemari oleh anak-anak. Terkait dengan Hardiknas di masa pandemi ini, saya tertarik untuk melihat bagaimana inspirasi pendidikan dalam sebuah film. 

film-sultan-agung-tahta-perjuangan-cinta-180814054536-869-5eb2f806097f36636a221a92.jpg
film-sultan-agung-tahta-perjuangan-cinta-180814054536-869-5eb2f806097f36636a221a92.jpg
Di antara beberapa film yang bisa dipetik karena mengisahkan nilai-nilai pendidikan adalah Film Sultan Agung besutan sutradara Hanung Bramantyo. Film yang tayang di bioskop tahun 2018 tersebut bahkan sempat meraih penghargaan di salah satu festival film di Rusia. Film Sultan Agung versi Directors Cut (bukan versi bioskop) mendapatkan Special Prize di 4th International Film Festival Akbuzat di Rusia. Film tersebut juga meraih enam nominasi Piala Citra, termasuk Film Terbaik. Sementara itu, di Festival Film Bandung tercatat meraih empat piala, termasuk Film Bioskop Terpuji. Juga menyabet Piala Maya 2019, menang di kategori Pendukung Pria Terpilih, Marthino Lio. Sebagai sutradara, Hanung Bramantyo sendiri mendapatkan penghargaan Jogja-NETPAC Asian Film Festival.

Film Sultan Agung dimulai dengan kisah Mas Rangsang (Marthino Lio) yang belajar di Padepokan Jejeran, berguru kepada Kyai Jejer (Deddy Sutomo). Di padepokan tersebut ia juga bertemu dengan gadis cantik yang bernama Lembayung (Putri Marino). Lembayung adalah tokoh fiktif yang barangkali dihadirkan oleh sang sutradara untuk membangun suasana romantik dan bumbu percintaan para tokoh muda. Kisah percintaan tersebut haruslah kandas karena ayahanda Mas Rangsang, yaitu Panembahan Hanyokrowoti, wafat setelah beberapa waktu menderita sakit. 

Mas Rangsang selanjutnya dihadapkan pada situasi sulit karena tidak bisa menolak permintaan sesepuh Keraton Mataram Ki Juru Mertani (Landung Simatupang) yang mengisahkan pilihan sulit bagi suksesi Mataram. Pangeran Martopuro sebagai putra mahkota masih anak kecil dan menderita keterbatasan mental. Masa depan Mataram tentu akan menjadi taruhan oleh sosok yang sah, tetapi tidak memiliki kecakapan. Mas Rangsang akhirnya naik tahta sebagai Susuhunan Hanyokrokusumo. Penguasa baru tersebut harus segera berhadapan dengan masalah pergerakan Kompeni Belanda yang makin membahayakan eksistensi Mataram. 

Sebagaimana kisah sejarah yang sudah banyak kita ketahui, Penguasa muda tersebut memilih untuk menyerang kekuasaan VOC di Batavia senyampang posisinya masih kuat pada bulan Agustus dan Oktober 1628. Mataram pun mengerahkan segenap tentara dan para pemudanya.  Kedua penyerangan tersebut, sebagaimana dalam pelajaran sejarah, mengalami kegagalan. Dalam masa itulah sang raja berada dalam monolog perdebatan batin yang keras. Ada keraguan dan keyakinan kuat untuk mempertahankan martabat, ada juga penghianatan. Pada saat yang sama, korban sudah berjatuhan dari prajurit dan rakyat Mataram.

Sang Raja Mataram tersebut pada akhirnya menolak berdiri di atas keraguan. Ia memilih keyakinan dan keteguhan bahwa penyerangan atas VOC di Batavia bukanlah tujuan jangka pendek. Ia ingin memberikan pelajaran bagaimana mempertahankan martabat dan kehormatan kepada generasi yang akan datang. Tindakannya adalah membangun sejarah sebagai bangsa terhormat yang tidak sudi dinjak-injak oleh bangsa asing. Ia juga membangun monumen sejarah yang akan ditulis ratusan tahun kemudian.

Inspirasi Pendidikan dalam Film Sultan Agung

Yang menarik dari keseluruhan kisah, kita bisa melihat bagaimana model pendidikan para ksatria Jawa. Sebelum menjadi seorang calon pemimpin yang menggantikan estafet ayahandanya,para ksatria Jawa banyak yang harus belajar dan keluar dari istana. Hal ini bisa disaksikan oleh masyarakat Jawa yang mengalami suburnya kesenian kethoprak pada rahun 1980-an di desa-desa. Pengembaraan para pangeran biasanya adalah dalam rangka ndadar kawicaksanan, yaitu untuk melihat bagaimana reputasi seorang calon pemimpin. Untuk konteks sekarang, meski tidak sebanding dan terkesan formalitas, mungkin bisa diartikan sebagai fit and proper test.

sultan-agung-the-movie-instagram-5eb2f81b097f366399005343.jpg
sultan-agung-the-movie-instagram-5eb2f81b097f366399005343.jpg

Dalam kethoprak Jawa, lelaku (perjalanan yang bermakna spiritual) sebagai idiom menuntut ilmu harus dilalui dengan istilah yang dikenal njajah deso milangkori dan munggah gunung mudun jurang. Njajah deso milang milangkori dalam konteks budaya Jawa berarti pergi dan berpindah dari satu desa ke desa lain dengan cara menghitung pintu dalam rangka mencari ilmu dan kebijaksanaan. Sementara itu, munggah gunung mudun jurang berarti menuntut ilmu dan kebijaksanaan selalu membutuhkan pengorbanan dan perjuangan keras karena harus rela mendaki gunung dan menyusuri jurang yang berbahaya.

Kisah Mas Rangsang di Padepokan Jejeran yang menanggalkan identitas dan atribut kebangsawanannya juga hal yang menarik (seperti kisah dalam kethoprak). Ia terlibat sebagaimana murid-murid lain yang berlatih ilmu kanuragan (kemampuan beladiri), pengetahuan sejarah Jawa, dan spiritualitas. Hal ini tampak dalam bagaimana Mas Rangsang berjibaku melawan para pengacau pada sebuah desa atau pada saat mengikuti pelajaran di padepokan. Misalnya, saat mendiskusikan beberapa golongan manusia dalam pandangan masyarakat Jawa kuno yang terdiri atas golongan brahmana, ksatria, waisya, waisya, candala, sudra, dan maleca.

Penghargaan yang tinggi atas arti pendidikan juga tampak pada dialog antara ibunda  Christine Hakim) dengan Mas Rangsang sesampainya di istana Mataram.

Ibunda: "Maafkan ibu, Cah Bagus,telah mengganggu belajarmu...."

Mas Rangsang: "Mboten, Ibu.... Justru saya senang mendapat panggilan Ibu. Itu tandanya Ibu rindu dengan saya...."

Ibunda: "Mataram membutuhkan lebih banyak lagi pangeran-pangeran sing mumpuni kaya slimramu (yang cakap seperti dirimu)!"

Saat penobatan, karakter Sultan Agung sebagai penguasa baru Mataram tampak sempurna. Seorang raja yang berwibawa, perkasa, dan agung. Karakter dan suaranya sangat kuat. Sementara itu, sorot matanya sangat tajam yang menunjukkan seorang raja yang memiliki kemauan kuat membangun martabat negaranya. Semboyan "Mukti utawa mati!" yang bermakna menang dan bermartabat atau gugur" semakin mengokohkan kekuatan karakter sosok Sultan Agung. Rasanya genre film bisa menjadi media pendidikan yang menarik untuk menjadi pilihan di era pandemi ini. (SW)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun