Mohon tunggu...
Sukarjo Waluyo
Sukarjo Waluyo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Diponegoro, Semarang

Sastra dan Kajian Budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hardiknas 2020 di Masa Pandemi: Membaca Pendidikan Ksatria Jawa dalam Film "Sultan Agung"

7 Mei 2020   00:18 Diperbarui: 7 Mei 2020   01:07 903
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Inspirasi Pendidikan dalam Film Sultan Agung

Yang menarik dari keseluruhan kisah, kita bisa melihat bagaimana model pendidikan para ksatria Jawa. Sebelum menjadi seorang calon pemimpin yang menggantikan estafet ayahandanya,para ksatria Jawa banyak yang harus belajar dan keluar dari istana. Hal ini bisa disaksikan oleh masyarakat Jawa yang mengalami suburnya kesenian kethoprak pada rahun 1980-an di desa-desa. Pengembaraan para pangeran biasanya adalah dalam rangka ndadar kawicaksanan, yaitu untuk melihat bagaimana reputasi seorang calon pemimpin. Untuk konteks sekarang, meski tidak sebanding dan terkesan formalitas, mungkin bisa diartikan sebagai fit and proper test.

sultan-agung-the-movie-instagram-5eb2f81b097f366399005343.jpg
sultan-agung-the-movie-instagram-5eb2f81b097f366399005343.jpg

Dalam kethoprak Jawa, lelaku (perjalanan yang bermakna spiritual) sebagai idiom menuntut ilmu harus dilalui dengan istilah yang dikenal njajah deso milangkori dan munggah gunung mudun jurang. Njajah deso milang milangkori dalam konteks budaya Jawa berarti pergi dan berpindah dari satu desa ke desa lain dengan cara menghitung pintu dalam rangka mencari ilmu dan kebijaksanaan. Sementara itu, munggah gunung mudun jurang berarti menuntut ilmu dan kebijaksanaan selalu membutuhkan pengorbanan dan perjuangan keras karena harus rela mendaki gunung dan menyusuri jurang yang berbahaya.

Kisah Mas Rangsang di Padepokan Jejeran yang menanggalkan identitas dan atribut kebangsawanannya juga hal yang menarik (seperti kisah dalam kethoprak). Ia terlibat sebagaimana murid-murid lain yang berlatih ilmu kanuragan (kemampuan beladiri), pengetahuan sejarah Jawa, dan spiritualitas. Hal ini tampak dalam bagaimana Mas Rangsang berjibaku melawan para pengacau pada sebuah desa atau pada saat mengikuti pelajaran di padepokan. Misalnya, saat mendiskusikan beberapa golongan manusia dalam pandangan masyarakat Jawa kuno yang terdiri atas golongan brahmana, ksatria, waisya, waisya, candala, sudra, dan maleca.

Penghargaan yang tinggi atas arti pendidikan juga tampak pada dialog antara ibunda  Christine Hakim) dengan Mas Rangsang sesampainya di istana Mataram.

Ibunda: "Maafkan ibu, Cah Bagus,telah mengganggu belajarmu...."

Mas Rangsang: "Mboten, Ibu.... Justru saya senang mendapat panggilan Ibu. Itu tandanya Ibu rindu dengan saya...."

Ibunda: "Mataram membutuhkan lebih banyak lagi pangeran-pangeran sing mumpuni kaya slimramu (yang cakap seperti dirimu)!"

Saat penobatan, karakter Sultan Agung sebagai penguasa baru Mataram tampak sempurna. Seorang raja yang berwibawa, perkasa, dan agung. Karakter dan suaranya sangat kuat. Sementara itu, sorot matanya sangat tajam yang menunjukkan seorang raja yang memiliki kemauan kuat membangun martabat negaranya. Semboyan "Mukti utawa mati!" yang bermakna menang dan bermartabat atau gugur" semakin mengokohkan kekuatan karakter sosok Sultan Agung. Rasanya genre film bisa menjadi media pendidikan yang menarik untuk menjadi pilihan di era pandemi ini. (SW)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun