Mohon tunggu...
Sukarjo Waluyo
Sukarjo Waluyo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Diponegoro, Semarang

Sastra dan Kajian Budaya

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Mudik dan Pulang Kampung: Konteks Menentukan Makna

26 April 2020   21:28 Diperbarui: 27 April 2020   04:22 1235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media sosial sedang diramaikan terkait kata 'mudik' dan frasa 'pulang kampung' yang sedang naik daun karena kebetulan diungkapkan langsung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam program acara Mata Najwa. Presiden Jokowi membedakan makna mudik dan pulang kampung.

'Mudik' adalah sebuah kata. Kata adalah satuan bahasa terkecil yang dapat berdiri sendiri. 'Pulang kampung' adalah sebuah frasa. Frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang bersifat nonpredikatif atau lazim juga disebut gabungan kata yang mengisi salah satu fungsi sintaksis di dalam kalimat. Contoh dalam kalimat berikut.

Saya mudik. (kata)

Saya pulang. (kata)

Saya memiliki kampung. (kata)

Saya tidak merencanakan pulang kampung. (frasa)

Jika kita mencari makna di kamus, kita hanya bisa menemukan adalah kata dasarnya. Di kamus kita akan menemukan kata 'mudik', tetapi tidak menemukan kata 'pulang kampung' meskipun kita bisa menemukan kata 'pulang' dan kata 'kampung' yang masing-masing berdiri sendiri. Hal yang sama, kita tidak akan menemukan kata 'bertani' atau 'petani', tetapi kita akan menemukan kata dasar 'tani' saat pencarian di kamus. 

Pencarian di kamus terkait kata mudik dalam KBBI online (https://kbbi.web.id/mudik, 26-04-2010 jam 20.02.10).

mudik/mudik/ v 1 (berlayar, pergi) ke udik (hulu sungai, pedalaman): dari Palembang -- sampai ke Sakayu; 2 cak pulang ke kampung halaman: seminggu menjelang Lebaran sudah banyak orang yang --;-- menyongsong arus, hilir menyongsong pasang, pb tentang usaha yang mendapat rintangan dari kiri dan kanan namun diteruskan juga; belum tentu hilir -- nya, pb belum tentu keputusan atau kesudahan suatu hal atau perkara; kokoh, baik dalam soal yang kecil-kecil maupun dalam soal yang besar-besar; ke -- tentu hulunya, ke hilir tentu muaranya, pb suatu maksud atau niat hendaklah tentu wujud atau tujuannya;

'Mudik' adalah kata kerja. Arti pertama adalah kembali ke udik atau hulu sungai. Selanjutnya, arti keduanya merujuk ke ''pulang kampung' dan merupakan kata kerja cakapan atau bukan bahasa baku. Namun, KBBI menyamakan 'mudik' dengan 'pulang kampung'. Dalam  sebuah media nasional detikcom, Kamis (23/4/2020), Prof. Rahayu Surtiati Hidayat, ahli bahasa dari Universitas Indonesia, berpendapat sama dengan Presiden Jokowi. Guru besar Linguistik tersebut berpendapat bahwa 'mudik' dan 'pulang kampung' memang berbeda arti. 

Menurutnya, di KBBI tertulis v cak. Cak berarti percakapan dan bahas percakapan bersifat anti kaidah. Arti 'pulang kampung' berbeda dengan 'mudik', tetapi biasa dipakai dalam bahasa percakapan. 'Mudik'  artinya pergi ke udik atau hulu, sedangkan 'pulang kampung' artinya kembali ke kampung halaman. Lebih lanjut, Prof. Rahayu menjelaskan bahwa Presiden Jokowi membatasi makna 'mudik' terkait dengan konteks momen hari raya Idul Fitri, sedangkan makna 'pulang kampung' tidak terkait dengan Idul Fitri.

download-1-5ea59a3b097f364cae513f92.jpg
download-1-5ea59a3b097f364cae513f92.jpg

Konteks Menentukan Distribusi Makna 

Penulis lebih tertarik untuk melihat konteks yang turut memengaruhi pergeseran atau perubahan makna 'mudik' dan 'pulang kampung'. Dalam hal ini, kita mengenal istilah-istilah berikut dalam pembicaraan tentang makna kata.

  1. Meluas, yaitu makna kata memiliki fenomena semakin luas. Misalnya kata 'ibu' yang awalnya untuk menyebut ibu kandung (dalam kekerabatan), selanjutnya meluas untuk menyebut wanita yang lebih tua yang pantas usia sebagai seorang ibu.
  2. Menyempit, yaitu makna kata memiliki fenomena semakin sempit. Misalnya kata 'sarjana' yang dahulu untuk menyebut kaum cerdik pandai, sekarang hanya untuk menyebut orang yang telah lulus kuliah dari program sarjana (S1) dari sebuah universitas.
  3. Amelioratif, yaitu makna kata memiliki fenomena bekonotasi semakin positif/membaik. Misalnya kata 'wanita' yang dahulu kurang diterima dan memiliki konotasi dibawah kata 'perempuan'. Konon kata 'wanita' sendiri berasal dari bahasa Jawa 'wani ditata', yang artinya mau diatur. Namun, kata  'wanita' saat ini memiliki distribusi dan pemaknaan yang lebih positif sebagai contoh fenomena ameliorasi bahasa. Hal ini tampak bagaimana penggunaan kata tersebut dalam berbagai organisasi, seperti Korps Wanita Angkatan Darat (Kowad), Polisi Wanita (Polwan), Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (Iwapi), dan sebagainya.
  4. Peyoratif, yaitu makna kata memiliki fenomena bekonotasi semakin negatif/memburuk. Misalnya kata 'perempuan' yang dahulu lebih diterima dan memiliki konotasi di atas kata 'wanita'. Konon kata 'perempuan' sendiri berasal dari bahasa Jawa dengan kata dasar 'empu', yang memiliki arti terhormat dalam budaya Jawa

Beberapa fenomena pergeseran dan perubahan makna di atas menunjukkan bahwa makna kata sebenarnya tidak selamanya stabil. Beberapa kata yang menjadi perangkat komunikasi dalam sebuah ruang dan konteks diskursus yang melibatkan berbagai interest dan proses pemaknaan yang sedang berlangsung, tentu saja lebih bersifat rentan (labil) atas pemaknaan. Konteks ruang yang menentukan sejauh mana distribusi makna dan pemaknaan oleh pemakainya tidak stabil (bisa berubah-ubah) sudah banyak kita saksikan. 

Contohnya adalah kata 'reformasi' yang dalam KBBI berarti perubahan secara drastis untuk perbaikan (bidang sosial, politik, atau agama) dalam suatu masyarakat atau negara. Pada awal tahun 1998 kata itu berubah makna menjadi turunnya Presiden Suharto dari kursi presiden. Atau kata 'merdeka' KBBI berarti bebas (dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya). Pada masa perjuangan fisik mempertahankan kemerdekaan RI kata itu berubah makna menjadi siap berjuang sampai mengorbankan nyawa.

Alhasil, makna 'mudik' dan 'pulang kampung' yang sedang ramai diperdebatkan saat ini sebenarnya terkait dengan konteks pendemi Corona (Covid-19). Sebuah problematika massal yang masih misterius dan penanganannya belum sesuai harapan masyarakat. Corona (Covid-19) rasanya menjadi hantu yang tanpa kita sadari turut menggeser atau bahkan mengonstruksi sebuah makna. Semoga perdebatan tidak melenceng dan bergeser dari substansi. Lebih baik, kita kembali bersatu sebagai sebuah bangsa untuk melawan pandemi Corona (Covid-19). 

Daripada memperdebatkan lebih indah mana antara mawar merah dan mawar putih, lebih baik kita menanamnya berdampingan di halaman. (SW)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun