Ibu Tuminah hanyalah seorang single parent, suaminya sudah meninggal dunia delapan tahun yang lalu, sekarang ia hidup bersama 2 orang anaknya, anaknya yang pertama sudah bekerja menjadi tata usaha di Sekolah Dasar di desa itu. Sedangkan Ibu Tuminah kegiatannya sehari harimenjadi buruh tani, sambil memelihara kambing gaduh milik warga desa tetangga. Jika tenaga buruh tani sedang tidak ada yang menggunakan, maka praktis pekerjaan Bun Tuminah hanya ngangon dan mencari ramban untuk makan kambing gaduh yang ia pelihara.
Disela sela mengangon kambing, Ibu Tuminah melihat lihat dsekeliling sawah, di area ini sawah bisa di airi secara teratur, sehingga bisa panen tiga kali dalam setahun, warga desa bisa hidup lebih makmur. Namun Bu Tuminah juga melihat sisi lain, nun dibalik tanah perbukitan sana ada hamparan sawah, namun tidak subur, bahkan bisa dikatakan daerah kering/tandus. Bu Tuminah memang melihat tidak ada saluran air kearah sana, hamparan sawah di sana hanya mengandalkan air hujan, sehingga disebut sawah tadah hujan. Karena itu panen di area sawah ini hanya sekali dalam setahun, paling banyak dua kali, itupun yang sekali paling bertani palawija.
Ibu Tuminah berpikir, kenapa tidak memgalirkan air dari area sawahirigasi kesawah tadah hujan ? memang untuk mengalirkan akan terhalang tanah berbukit, namun Bu Tuminah melihat kemungkinan itu bisa dilakukan, yaitu dengan cara tanah berbukit tersebut harus digali sedemikian rupa agar bisa dibuat saluran semacam selokan kecil, walaupun ia tahu hal itu bukan pekerjaan yang mudah, dan pasti perlu kerja keras dan memerlukan waktu yang lama.
Esuk pagi, saat Bu Tuminah mengangon kambingnya, ia tidak lupa membawa cangkul peninggalan suaminya. Mulailah ia mencangkul bagian bagian tanah yang agak tinggi, pelan pelan ia mulai membuat saluran air. Saluran tersebut sedikit demi sedikit terus ia kerjakan disela sela waktu senggang yang ia miliki. Banyak tetangga yang tidak mengerti, apa yang sedang dikerjakan Bu Tuminah ini sebenarnya ? setiap hariia terus melakukan penggalian, bahkan ada warga yang mengira Bu Tuminah orang yang kurang waras. Akhirnya setelah memakan waktu 2 tahun lebih, aliran air sudah mencapai panjang sekitar 340 m mengelilingi tanah yang agak berbukit, walaupun masih saluran kasar, namun sudah bisa dilewati air dari saluran irigasi terdekat dan air sudah berhasil menjangkau sawah tadah hujan yang terdekat. Barulah warga desa tercengang, bahwa sawahnya sekarang bisa dialiri air berkat kerja keras Bu Tuminah yang selama ini ia anggap kurang waras.
Setelah warga mengetahui, bahwa yang dikerjakan Bu Tuminah ternyata sangat berguna bagi sawah tadah hujani di wilayahnya, barulah mereka menyadari, bahwa warga harus membantu Bu Tuminah. Sejak itu seluruh warga beramai ramai menyempurnakan aliran air yang sudah dikerjakan seadanya oleh bu Tuminah. Saluran diperlebar dan juga diperdalam agar bisa menampung air lebih banyak. Aliran juga dibuat lebih jauh, sehingga makin banyak sawah tadah hujan yang akhirnya bisa dialiri air irigasi. Sejak itu petani di area sawah yang sebelumnya mengandalkan air tadah hujan, sekarang bisa di airi dari saluran irigasi. Kalau dulu hanya panen satu kali, maka sekarang bisa panen tiga kali dalm setahun. Berkat Ibu Tuminah warga desa Tegalreja menjadi lebih makmur, padahal Ibu tuminah tidak memiliki sawah sejangkalpun di sana. Bu Tuminah adalah sosok orang yang bekerja tanpa pamrih, tidak ada yang memberi upah, namun hasilnya bermanfaat bagi orang banyak, karena inspirasinya ia layak disebut pahlawan, paling tidak pahlawan bagi warga disekitarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H