[caption id="attachment_340392" align="alignnone" width="630" caption="ilustrasi (www.firstcover.com)"][/caption]
Jika menulis ibarat menyanyi, maka bikin buku itu ibarat rekaman...
Menulis dan menyanyi, sama-sama merupakan proses kreatif. Rasa-rasanya semua orang bisa menulis, sama halnya dengan semua orang bisa menyanyi. (Walau tak semua orang punya suara merdu, sama halnya dengan tak semua tulisan yang dibuat itu menarik untuk dibaca...)
Untuk bisa menyanyi dengan bagus dan merdu, seseorang harus rajin berlatih. Rajin berolah vokal dan pernafasan. Begitu juga dengan menulis. Setidaknya ada dua hal yang bisa dilakukan untuk bisa menulis lebih bagus: Banyak membaca dan banyak menulis.
Banyak membaca, untuk memperluas wawasan. Juga menambah kosa kata. Dan sudut pandang. Yang disarankan untuk dibaca tak hanya tulisan yang bagus dan menarik. Sesekali, seseorang juga perlu membaca tulisan yang jelek, untuk dijadikan pelajaran.
Di samping banyak membaca, tentu juga harus banyak menulis. Banyak membaca tanpa menulis tak akan membuat seorang pintar menulis. Jadi yang dianjurkan adalah menulis setiap hari. (Menulis setiap hari itu berbeda dengan mempublish tulisan setiap hari).
The next level
Di kompasiana, saya beberapa kali menemukan teman kompasianer yang bilang: Saya hanya ingin menulis, tak ingin bikin buku... Itu merupakan hal yang wajar, sama halnya dengan tak semua penyanyi ingin rekaman.
Sekalipun, tentu saja, ketika seorang penyanyi memasuki dapur rekaman, dia sudah menanjak ke 'next level'. Dia sudah memasuki tahapan yang lebih tinggi.
Begitu juga dengan menulis. Ada yang bilang, prestasi terbesar seorang wartawan dan blogger adalah ketika dia bisa bikin buku. Karena realitanya, tak semua wartawan dan blogger bisa menulis buku. Membuat berita atau posting itu mudah. Namun buku? Itu soal lain. Itu sebabnya, ketika seseorang yang biasa menulis dan kemudian memutuskan untuk mewujudkan tulisannya menjadi buku, dia telah memasuki tahapan yang baru. Ke 'next level'.
Musisi pengiring