SIGIT Bhuwono menatap sekeliling. Joyluv Resto nampak ramai. Hampir semua kursi terisi. Pengunjung umumnya mahasiswa dan karyawan, yang asyik dengan laptop masing-masing. Joyluv Resto memang menyediakan layanan Wi-Fi berkecepatan tinggi, yang menjadi salah satu daya tarik. Namun bukan mahasiswa dan karyawan itu yang menarik perhatian Sigit, melainkan beberapa orang asing yang ikut larut dalam keramaian. Yang pertama, seorang lelaki yang duduk dekat pintu masuk. Dia berusia 30-an, berwajah khas Kaukasia dengan guratan memanjang di pipi sebelah kanan. Lelaki yang sedang asyik membaca majalah National Geographic itu bernama Jack Garreth, agen CIA untuk kawasan ASEAN. Di dunia intelejen, dia dikenal dengan julukan si Bunglon, karena kemampuan beradaptasi dan menyamar yang sukar dicari bandingannya. Orang asing kedua adalah perempuan berwajah cantik, dan dari jauh terlihat lemah lembut. Wajah perempuan berambut pirang ini mirip aktris Natalie Portman. Namun Sigit tahu, gadis cantik ini bukan orang sembarangan. Dia bernama Carmen Ann-Baker, agen M16 Inggris yang dikenal dengan nama sandi 009. Angka 00 merupakan pertanda kalau Carmen diberi hak untuk membunuh siapapun yang dianggap bisa mengganggu stabilitas dan keselamatan Kerajaan Inggris. Ini bukan yang pertama kali Sigit bertemu agen M16. Tahun lalu di Singapura Sigit pernah berkenalan dengan agen M16 lainnya, seorang lelaki tampan namun kasar dan dingin. Ketika berkenalan, lelaki dengan sandi 007 itu menyebut namanya sebagai JB!! Carmen Ann-Baker nampak asyik mencicipi es krim, sambil berbincang ringan dengan lelaki berwajah Asia yang mengenakan kaca mata tebal. Sigit mengenali lelaki itu sebagai Kho Kweeng Gie, agen rahasia dari SS5 Singapura. Namun yang paling menarik perhatian Sigit adalah lelaki berwajah khas Timur Tengah yang duduk di pojok. Lelaki itu datang ke Indonesia menggunakan paspor Yordania. Di paspor namanya adalah Khalid Al-Habsy. Namun Sigit tahu, nama aslinya adalah Shlomo Mordechai alias si Pisau, salah satu dari lima agen Mossad yang paling ditakuti. Shlomo dikenal sebagai agen yang tidak menyukai senjata api. Dia lebih suka beraksi menggunakan sebilah pisau belati kecil yang disimpan di balik lengan baju. Sigit ingat bagaimana senewennya Dododo ketika menerima memo rahasia dari Kedubes AS, dua pekan lalu. Memo itu berisi kalimat: Orang Kami bersama Teman dari Jauh akan ke Indonesa untuk menjemput paket. Mohon pengertiannya... Memo yang singkat, namun nyaris membuat Dododo terkena stroke. ‘Orang Kami’ adalah istilah Kedubes AS untuk menyebut agen CIA. ‘Teman dari Jauh’ adalah kata sandi untuk menyebut agen Mossad. Seperti biasa, Kedubes AS tidak meminta ijin. Mereka hanya ‘memohon pengertian’. Mereka juga tidak menjelaskan paket apa yang akan dijemput. Apakah orang? Atau senjata? Atau mungkin paket buku? Dododo segera menghubungi staf khusus presiden. Sore harinya Presiden langsung menggelar rapat darurat nan rahasia di Cikeas. Rapat dihadiri Kepala BIN, Kapolri, Menhan, Panglima TNI, Menko Polkam, Mendagri, Menlu dan Menhum. Dododo, sebagai Kepala Lembaga Intelejen Nasional (LIN) tentu saja ikut hadir. (Dododo adalah nama panggilan internal LIN, yang diambil dari solmisasi. Semua pihak yang terlibat di LIN punya panggilan khusus dari solmisasi). Rapat berlangsung singkat. Demi kepentingan jangka panjang Presiden memutuskan untuk menerima kedatangan Orang Kami dan Tamu dari Jauh itu. “Tentu, sepanjang Tamu dari Jauh itu mengaku warga Yordania,” kata Presiden sembari mewanti-wanti agar hal ini tidak bocor ke media massa. Dan begitulah, dua pekan kemudian, nasib secara kebetulan mempertemukan Sigit dengan Tamu dari Jauh itu. Bersama tiga agen rahasia lain di sebuah restoran es krim. Kebetulan? Sigit mendengus. Sepanjang pengalamannya, di dunia intelejen tak ada yang namanya kebetulan!!
***
Sigit melirik jam tangannya. Sudah jam 5.05 petang. Namun kontaknya belum juga datang. Dia mendesis. Bahkan kontak intelejennya juga menganut falsafah jam karet!! Seorang pemuda penjual koran memasuki ruangan. Dia mendekati pengunjung dan menjajakan korannya. Sigit melihat Gareth membeli satu eksemplar The Jakarta Post. Carmen Ann-Baker dan Khalid tak membeli apa-apa. “Koran pak? Koran Kompas?” Penjual koran mendekat. Sigit menggelengkan kepala. Kompas adalah bacaan wajibnya di pagi hari. Dan sekarang sudah jam lima sore. “Ada berita bagus di halaman 15 pak,” si penjual koran mendesak. “Bapak harus baca. Berita perkosaan...” Penjual itu meletakkan satu eksemplar koran Kompas ke atas meja, dan mengetukkan jari telunjuk empat kali. Sigit terkesiap. Ketukan empat kali!!. Da menatap penjual koran itu, seorang pemuda berwajah gelap penuh keringat. Pemuda itu tersenyum dan mengedipkan mata. “Oke, aku beli ini,” kata Sigit sambil memberikan pecahan lima ribuan. “Silakan ambil kembaliannya...” Pemuda itu membungkuk girang, dan kembali menjajakan korannya dan akhirnya berlalu. Sigit segera membuka halaman 15. Bukan berita perkosaan yang menarik perhatiannya, tapi sebuah surat kecil yang diselotip bersama sebuah undangan berwarna ungu.
Sebentar jam 19.30 kita bertemu di pesta. Ini undangannya. Aku akan menemui dan mengatakan ‘Pesta ini meriah, sayang musiknya jelek’ dan Anda harus menjawab dengan ‘Musiknya lumayan, tapi aku lebih suka Dangdut’. Tertanda, QQ
Sigit membaca lagi surat yang ditulis tangan itu dan kemudian membuka undangan. Undangan biasa, tentang sebuah pesta di Jalan Walet Merah no 67. Di bagian bawah undangan tercetak besar-besar dua kalimat: ‘berlaku untuk dua orang’ dan ‘harap mengenakan pakaian resmi’. Sigit mendesah. Dia tak suka pesta apalagi jika busananya ditentukan seperti ini. Pakaian resmi pula. Dengan enggan dia mengambil handphonenya. “Lalare, ini aku, Dosifa. Aku perlu satu stel pakaian resmi. Dipakai sebentar jam 7. Tolong disiapkan ya? Aku akan mengajak Sekar. Jadi sekalian tolong siapkan gaun malam. Oke?” “Aduh Dosifa,” terdengar suara sengau dari balik telepon. “Aku kan sudah ribuan kali bilang, jika ingin pakaian, kau harus bilang sehari sebelumnya. Bukan sejam!!!” “Bukan salahku, Lalare. Aku baru semenit lalu menerima undangannya...” “Huh. Baiklah. Alatnya seperti biasa?” “Apa ada yang baru?” “Ada beberapa, tapi masih dalam tahap uji coba...” “Ok, alat yang biasa aja. Makasi ya...” ‘Alat yang biasa’ yang merupakan kebutuhan standar setiap bertugas adalah dua pulpen yang di saat darurat bisa dijadikan pistol, dasi kupu-kupu yang dilengkapi kamera dan sensor, jam tangan digital berisi scanner canggih, korek api yang dilengkapi laser dan rokok yang juga bisa dijadikan bahan peledak. Sigit kembali memencet handphonenya. Suara merdu nan manja terdengar. “Halo? Kenapa Sigit?” “Sekar, setengah tujuh nanti aku jemput. Kita akan ke pesta...” “Setengah tujuh? Ya gak bisa Sigit. Aku lagi banyak kerjaan nih. Banyak yang harus diedit...” “Harus bisa, Sekar. Ini penting. Kita mandi saja di Yayasan. Oke?” Sebelum gadis itu protes Sigit segera mematikan sambungan. Mandi di yayasan, adalah alternatif yang paling masuk akal ketika waktu sudah mendesak. Yayasan yang dimaksud adalah Yayasan Pelestari Lagu Tradisional (Tarisi), sebuah LSM yang dijadikan kamuflase oleh LIN, badan intelejen tidak resmi pemerintah. Hanya sedikit orang yang tahu kalau di balik Yayasan Tarisi ada lembaga intelejen rahasia. Karena pertimbangan tertentu, keberadaan LIN memang sangat dirahasiakan. Keberadaannya bahkan tidak diketahui mayoritas anggota DPR. Bahkan ada menteri yang tidak tahu!! Sigit sedang merapikan koran Kompas dan bersiap-siap membayar ketika dua orang memasuki restoran. Seorang mengenakan kacamata hitam dan dipandu seorang lain. Orang berkacamata hitam ini menjajakan kripik. Sebagian pengunjung restoran itu membeli kripik, kendati umumnya hanya karena belas kasihan kepada penjualnya yang tuna netra. Gareth juga membeli. Dan Sigit melihat sesuatu yang aneh. Kepada Gareth si tuna netra itu memberi bungkusan yang diambil dari tas plastik hitam. Bungkusan dari plastik berwarna abu-abu. Dan Sigit berani bertaruh kalau itu bukan kripik. Si tuna netra mendekati Khalid yang menyodorkan uang. Kepada Khalid si tuna netra juga memberikan bungkusan yang sama. Bungkusan berwarna abu-abu. Kenapa tuna netra ini memberikan bungkusan abu-abu, dan bukannya kripik kepada Gareth dan Khalid? Siapa sebenarnya tuna netra dan temannya itu? Dan bungkusan apa yang diterima Gareth dan Khalid? Sigit mendesah putus asa. (Bersambung) Catatan: -Kisah ini fiksi dan bersifat khayalan. Persamaan nama dan kejadian sifatnya kebetulan semata. -Tulisan ini merupakan bagian dari cerita bersambung jenis spionase berjudul Operasi Garuda Hitam. Episode ke berapa, itu yang saya belum tahu, hehehehe Salam, UPDATE: Lanjutan kisah ini dapat dibaca di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H