[caption id="attachment_175693" align="aligncenter" width="448" caption="Kemenangan mengejutkan Chelsea (foto: goal.com)"][/caption]
MASIH dalam suasana euforia kemenangan “mengejutkan” Chelsea atas tim super Barcelona. Sebagai penggemar Inggris, tentu kemenangan The Blues itu cukup menggembirakan, sekalipun kemungkinan besar nuansa kemenangan ini hanya akan bertahan satu pekan, hehehe.
Ketika asyik menelusuri berita demi berita terkait kemenangan Chelsea dan kekalahan Barcelona, saya melihat judul berita yang cukup menarik. Yakni Persema Ancam Mogok Melawan Persebaya. Walau gak pernah nonton pertandingan IPL maupun ISL (bahkan saya baru tau kalau Pelita Jaya main di ISL pada bulan Februari lalu), akhir-akhir ini saya memang suka menyimak perkembangan terbaru seputar sepakbola tanah air.
Dan di berita itu, saya menemukan fakta menarik. Sebagaimana dilansir metrotvnews, Persema mengancam mogok bertanding karena tak punya dana operasional. Selang dua bulan terakhir pengurus Persema terpaksa berhutang untuk menutupi biaya operasional. Bahkan Persema masih menunggak 80 juta rupiah untuk sewa stadion, kendaraan dan keperluan lain.
Bukan hanya itu. Pemain belum mendapat gaji sejak Maret (dan tentu saja hingga April ini). Bonus kemenangan sejak Januari-Maret juga belum dicairkan.
Persema, sama halnya dengan klub lain di IPL, mendapat dana operasional dari konsorsium. Fakta bahwa konsorsium belum mencairkan dana operasional hingga dua bulan untuk Persema, sungguh mengejutkan saya. Bayangan saya (mengacu ke tulisan teman-teman yang pro IPL), konsorsium yang menjadi darah dan daging kompetisi IPL itu sangat profesional. Dengan dukungan uang yang berlimpah. Jika memang konsorsium profesional, ada apa dengan Persema? Kenapa hingga dua bulan dana operasionalnya belum cair?
Alternatif pendanaan
Di Indonesia, konsorsium dijadikan alternatif utuk membiayai kompetisi. Konsorsium ini yang menanggung semua biaya operasional semua klub yang berkompetisi di IPL. Konsorsium menjadi alternatif yang secara teoritis relatif aman.
Ini yang membedakan dengan ISL, yang sebagian klub mengandalkan APBD. Saya tergolong pihak yang tidak suka jika dana APBD digunakan untuk sepakbola profesional. Kendati tidak suka, karena ini menyangkut Daerah, saya lebih suka menyerahkan ke masyarakat di daerah yang bersangkutan. Artinya, jika warga di daerah yang bersangkutan tidak keberatan jika sebagian dana digunakan untuk klub ISL, ya itu urusan mereka. Saya tak akan ikut-ikutan kebakaran jenggot jika masih ada klub ISL yang menggunakan dana APBD. Selain karena tak punya jenggot, saya menganggap itu bukan urusan saya. Jika klub di Jayapura atau Balikpapan menggunakan APBD yang seharusnya digunakan untuk pembangunan di Jayapura atau Balikpapan, biarlah masyarakat di Jayapura atau Balikpapan yang protes!!
Apalagi, yang saya tau, penggunaan dana APBD sudah dilarang sejak Januari 2012. Ada Permendagri yang melarang. Saya belum sepenuhnya paham apa konsekuensi secara hukum jika masih ada klub ISL yang menggunakan dana APBD. Namun menurut saya, seharusnya ada celah hukum yang bisa dilakukan untuk menyeret pihak yang menggunakan uang rakyat hanya untuk konsumsi sepakbola ke pengadilan.
Jika dana APBD tak memungkinkan untuk sumber dana, maka konsorsium nampaknya menjadi pilihan yang rasional. Di lapak beberapa teman (sudah lupa yang mana), saya pernah berkomentar soal konsorsium. Saya bilang, pada hakekatnya konsorsium itu juga bisnis. Sekalipun punya dana tak terbatas, tetap harus ada hitung-hitungan secara bisnis. Jika setiap bulan konsorsium menggelontorkan puluhan milyar rupiah, dan pemasukan (dari karcis) hanya ratusan juta, tentu dari sisi manapun konsorsium akan merugi. Dan jika itu berlangsung terus, akan gulung tikar.