Tanpa terasa, 10 tahun sudah aku menggunakan nomor Simpati. Nomor yang aku gunakan usianya lebih tua dari masa pacaran dengan istri, bahkan lebih tua dari anak-anakku.
Kenapa aku bangga dengan nomor Simpatiku? Karena aku bisa mempertahankan selama 10 tahun, bisa menjaga tidak tercuri, dan masih tetap mengaktifkannya. Sampai sekarang, jika mengisi pulsa, si petugas biasanya bingung dan mengulang nomor yang aku sebutkan.
"Gak salah pak? Hanya 11 angka?" Begitu kalimat yang biasa mereka ucapkan. Dan mereka biasanya juga langsung manggut-manggut ketika aku memastikan kalau nomor itu tidak keliru.
"Oh nomor lama ya..."
***
Aku membeli nomor Simpati nyaris bersamaan ketika membeli HP. Saat itu, karena tuntutan pekerjaan, aku 'memaksakan diri' membeli HP. Setelah HP terbeli, aku sempat bingung membeli nomor mana.
"Pakai Simpati saja pak," kata si penjual HP. "Kalu ke sesama Simpati lebih murah..."
Aku yang tidak terlalu paham soal mahal tidaknya biaya telepon, langsung percaya. Aku pun membeli nomor Simpati. Ternyata si penjual tidak bohong. Karena sebagian besar teman dan relasi juga pengguna Simpati, aku dapat merasakan dampaknya. Sesama Simpati pulsanya memang lebih murah.
Tak berapa lama, istriku juga membeli HP. Ketika mendampingi istri berbelanja, aku yang mengusulkan agar dia juga membeli nomor Simpati. "Supaya kalau kita saling teleponan bisa murah," kataku memberi alasan. Sayang nomor Simpati istriku hanya bertahan sekitar 2 tahun setelah HP- hilang. Setelah sempat mencoba nomor CDMA, tahun lalu istriku kembali memakai Simpati.
Tentu, bukan hanya sekali aku tergoda mencoba nomor provider lain. Iming-iming berbagai fasilitas nyaris membuatku tergoda. Namun aku tetap bertahan. Simpati sejauh ini belum pernah mengecewakan. Jadi kenapa harus dicampakkan?
Dua tahun lalu, aku dinobatkan sebagai pemenang sebuah kontes blog, dan mendapat hadiah sebuah Blackberry. Ketika BB sudah di tangan, aku sempat bimbang. Apakah aku harus membeli nomor baru untuk HP baru?