Mungkin sudah kewalahan, Bpk. Menteri Perdagangan, mengancam akan memidanakan feed lotter yang menahan tidak menjual sapi karena dianggap melakukan pelanggaran UU penimbunan barang (Kompas, 10 Agustus 2015) . Menanggapi berita ini saya tergelitik bertanya kepada teman saya yang kebetulan ‘nyambi’ menjadi feed lotter skala rumah tangga. “Baca nih berita, daripada dipenjara sana gih cepet jual sapimu..”. sambil terkekeh dia menjawab: “Sabar boss, bulan depan dah qurban, nah itu saat yang tepat buat jualan. Apalagi selain saya sekarang belum ada keperluan, sapiku kurang matang sedikit buat dijual”. Menurut dia, saat ini dia memang ingin menjual sapi di harga tinggi karena ongkos ‘ngarit’ sangat tinggi, dimana musim kemarau rumput menjadi mahal. Alasannya tukang ngaritnya semakin jauh mencari rumput. Teman saya ini, walau kecil-kecilan dia juga pengusaha feed lotter. Beli 2 sapi bakalan, dipelihara sampai gemuk terus dijual lagi, terus hasil penjualan digunakan beli 2-3 sapi lagi.
Interpretasi hukum atas pasal disini sangat memerlukan perhatian para pakar hukum untuk memberi masukan dan kejelasan kepada pemerintah (dalam hal ini menteri perdagangan). Dasar hukum yang dipakai adalah UU No 1 Tahun 1953 tentang penetapan undang undang darurat tetntang penimbunan barang barang (uu no 17 th. 1951) sebagai undang undang.
Pemerintah harus menyikapi dengan bijak penerapan UU ini sehingga tidak menimbulkan efek negatif bagi usaha peternakan di Indonesia. Efek negatifnya bila pemerintah benar benar akan memidanakan feed lotter yang enggan melepas sapinya ini tentu banyak orang yang takut menjadi peternak sapi daripada nanti dipaksa menjual, lebih baik tidak usah jadi peternak. Jika demikian, pemerintah hanya mengandalkan import atau feed lotter skala besar yang jumlahnya tidak terlalu banyak dibanding luas dan jumlah penduduk negara. Perlu diberikan definisi jelas faktor faktor mana feed lotter yang dianggap menimbun dan dilakukan audit untuk menilai apakah peternak tersebut sudah melakukan pelanggaran hukum mengingat menilai sapi sangat besar faktor subyektivitasnya. Peternakpun juga diberi hak untuk memberikan penjelasan sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. Jangankan peternak kecil, Bpk. Rahmat Gobel pun sebagai pengusaha juga pasti berpikir ulang untuk melepas barangnya bila HPP produknya diatas harga pasar.
Saya berpikir ulang, apa iya pemerintah serius memidanakan feed lotter seperti teman saya ini. Apakah tindakan dia untuk tidak menjual sapi dikategorikan sebagai penimbunan barang? Layakkah peternak peternak seperti dia dikenakan pasal penimbunan barang? Menurut saya pribadi, mereka tidak layak dikenakan UU penimbunan barang. Bagi teman saya, sapi tersebut adalah tabungan berharap kelak bisa menjadi peternak besar.
Tambahan untuk pemerintah: Bagaimana cara efektif melakukan pengawasan terhadap penerapan UU ini bila jadi diterapkan pada peternak, supaya tidak menjadi ladang pungli/suap baru?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H