Para orangtua kelas IX: apakah anda sedang harap-harap cemas, atau yakin anak anda akan diterima di sekolah favorit? Rata-rata orangtua di sekolah swasta dimana saya mengajar tidak terlalu cemas karena mereka sudah mendaftarkan ke SMA di kompleks yang sama yang berada di bawah satu yayasan. Ada policy yang mengharuskan SMA yayasan menerima lulusan dari SMP yayasan. Tetapi bagaimana dengan anak-anak kami yang masih mengharapkan masuk ke SMA Negeri favorit?
Berdasarkan pengalaman 3 hari mengawas di sekolah lain, dan sharing dari rekan-rekan guru yang bertugas mengawas silang baik di sekolah negeri dan swasta, masih ditemukan kecurangan-kecurangan yang terjadi. Pengalaman saya sendiri agak mengecewakan; di hari ketiga (Matematika) saya temukan beberapa anak di kelas yang saya awasi berusaha memberi contekan. Hebatnya, pasangan pengawas yang bertugas bersama bersikap acuh tak acuh, bahkan selama 120 menit mengawas beliau lebih sibuk menulis nama anak-anak di berita acara. Jadi, tugas pengawas baginya adalah sekedar duduk dengan tenang dan menulis berita acara, halaaahhhh...
Mungkin bukan rahasia kalau guru-guru dari sekolah swasta tertentu tidak akan ditunjuk mengawas di SMP Negeri favorit karena mereka tidak 'fleksibel', terlalu 'saklek' atau go by the book. Beberapa rekan guru yang mengawas di SMP Negeri tidak favorit bahkan menemukan selembar contekan lengkap untuk 5 jenis tipe soal berbeda pada hari UN terakhir (IPA). Walaupun sudah dilaporkan ke Panitia, saya tidak terlalu yakin kejadian ini akan masuk berita. Seorang rekan mengambil gambar contekan tersebut menggunakan BB sebelum bukti diserahkan ke Panitia karena ia kurang yakin Panitia sekolah tersebut akan menjatuhkan anak didiknya sendiri. Tidak heran generasi kita tambah memble, lha wong gurunya yang seharusnya menindak malah menutup kedua matanya!
Apakah saya masih ingin mengikuti sertifikasi guru? Setelah menjadi saksi ke-profesional-an profesi guru, saya katakan: TIDAK. Jika di suratkabar selalu digembar-gemborkan bagaimana guru perlu ditingkatkan mutunya melalui program sertifikasi, saya ingin bertanya apakah hal itu lebih penting daripada kejujuran guru itu sendiri? Selama 3 hari mengawas, pasangan saya adalah guru-guru negeri yang senior dan sudah lolos lubang jarum sertifikasi dan berhak atas berbagai macam tunjangan. Nyatanya, ketika mengawas mereka sibuk main hape, bahkan ada yang tidak malu-malu berbicara di depan kelas pas UN sedang berlangsung. Sebaliknya, di sekolah saya mengajar, anak-anak didik kami complain ke Panitia Sekolah karena guru-guru pengawas dari luar sekolah ribut berbicara sendiri dan main hape sehingga mengganggu konsentrasi selama ujian berlangsung. Itulah murid-murid sekolah swasta; mereka membayar uang sekolah lebih mahal karena mencari kualitas disiplin sekolah, selain kualitas guru tentunya.
Sejak bulan November tahun lalu, saya dan guru-guru kelas IX sudah mulai mengadakan pemantapan menghadapi UN. Kalau melihat contekan yang beredar, saya pikir ngapain juga cape mengajar sampai sore kalau ujuk-ujuknya seperti ini. Lebih konyol lagi pas mengawas UN kami harus menanda-tangani Pakta Integritas, what for? Konyol pangkat tiga: LJUN dimasukkan ke amplop bersegel "DOKUMEN RAHASIA" - apa rahasianya kalau sudah ada pihak luar yang dapat mendistribusikan jawaban yang benar untuk 5 paket berbeda?
Dari sisi akademis, anak-anak didik saya tidak kalah bersaing, dan rata-rata sudah diterima di sekolah swasta favorit yang tidak hanya memasang nilai UN sebagai tolok ukur. Saya katakan pada mereka, lakukan yang terbaik dengan jujur, asal kalian bekerja keras dan tidak menyerah, masa depan kalian tidak akan ditentukan oleh nilai UN! Doa saya untukmu, nak :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H