Oleh: Yan Mulyana
Mengakhiri pertemuan diskusi dengan obrolan ringan sesama anggota LPM di malang dan melihat keluar jendela Lt. 7 Fisip terasa indah bangunan-bangunan Universitas Brawijaya. Bangunan yang menjulang tinggi dengan kelipan warna-warni lampu, memaparkan fenomena keindahan arsitektur buatan manusia,, stop!!! Namun kita terasa terkesima dan melupakan satu hal. Apakah gedung ini menaungi para cendikiawan?, akankah gedung ini pula menciptakan lulusan kompetensi berdasarkan tri dharma Perguruan Tinggi? Dan dari mana dana yang dipakai untuk menciptakan kemegahan ini?
Pembangunan gedung perkuliahan dibeberapa universitas semakin terasa dilombakan. Universitas Padjajaran (unpad) telah rampung dengan kampus jatinangornya atau beberapa universitas lain yang sudah bahkan masih membangun untuk memperbaiki gedung kuliah, seperti Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Universitas Gajah Mada (UGM) atau Universitas Brawijaya (UB). Tentunya dengan harapan kualitas pendidikan semakin baik dan lulusannya pun mampu ber-kompetisi didunia kerja. Namun muncul masalah yang menjadi akar dari melencengnya lulusan-lulusan Perguruan Tinggi.
Dengan bangunan yang semegah itu, tentunya biaya kuliah pun megah pula. Biaya yang semegah itu tentunya menimbulkan dilematis lulusan perguruan tinggi. Prinsipnya “uang buat modal kuliah harus balik cepat ke kantong”. Masalah tersebut menjadi akar dari rapuhnya semua elemen bangsa ini. Dokter yang seharusnya memberi jasa kesehatan dengan murah malah pasiean yang harus membayar dengan mahal untuk membalikan modal kuliah, pengacara/hakim/advokasi seharusnya melindungi korban dalam masalah hukum malah terima suap untuk membalikan uang kuliah yang mahal itu.
Perguruan Tinggi seperti Universitas Brawijaya (UB) diberlakukan sistem spp proporsional yaitu sistem spp silang dengan tingkat level. Mahasiswa yang kurang mampu dapat kuliah dengan dengan spp yang murah, sedangkan mahasiswa yang mampu dapat kuliah dengan spp yang sedikit tinggi. Sistem ini tidak lain untuk pemerataan kemampuan setiap mahasiswa, mahasiswa yang dianggap mampu dapat membantu mahasiswa yang kurang mampu.
Terdapat beberapa Perguruan tinggi seperti Universitas Padjajaran (unpad), Institute Teknologi Bandung, Institute Teknologi Sepuluh November (ITS) atau Uiversitas Airlangga (Unair) yang memberlakukan spp pemerataan. Namun spp proporsional ataupun spp sama rata biaya masuk dan seluruh akomodasi kuliah tetap mahal. Di ITB pada penerimaan tahun 2011 biaya masuk seluruh fakultas kecuali SBM (School Business Managemen) sama kisaran 50-55 juta, sedangkan untuk SBM kisaran 80-100 juta. Namun kebijakan pihak rektorat ITB bagi calon mahasiswa yang ingin masuk ITB dapat mengajukan pengurangan biaya masuk dan spp dengan sistem persentase pengurangan (diskon). Pun UB dengan sistem SPP proporsional dari level 1 sampai 7 (dilansir tahun 2011) dan berbeda biaya SPP, prakktekum atau sumbangan bangunan setiap fakultas.
Biaya yang segelontoran tersebut tentunya digunakan untuk memperbaiki fasitas gedung perkuliahan, khusunya pencitraan lewat kemegahan bangunan. Semakin bagus gedung kuliah semakin banyak peminat, semakin banyak peminat semakin banyak pemasukan buat rektorat.
Satu kursi kuliah yang diperebutkan oleh beberapa calon mahasiswa menjadi dilematis, secara kursi yang diperebutkan akan menghasilkan apa?. Lulusan-lulusan yang telah mendapatkan kursi kuliah dulu, kini mulai mencari kerja dengan gaji yang tinggi atau bagaimana pun mendapat modal kuliah kembali. Lulusan Pergurun Tinggi diciptakan untuk berperan aktive dalam pembangunan nasional. Sarjana (lulusan S1) diharapkan langsung terjun ke masyarakat, sarjana pertanian dengan petani desa, sarjana hukum dengan penyuluhan aturan pemerintah kepada masyarakat desa, sarjana kedokteran dengan puskesmas desa, atau sarjana ekonomi dengan sistem ekonomi kerakyatannya. Namun hal tersebut sama sekali tidak sesuai dengan prinsip mahasiswa yaitu Tri Dharma Perguruan Tinggi dengan tiga poin utama yaitu pendidikan, penelitian dan pengembangan dan pengabdian kepada masyarakat.
Tentunya pada satu Perguruan Tinggi terdapat spesialis ahli dari satu bidang, tidak lain adalah ilmuan. Peran dari ilmuan sendiri begitu penting untuk penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan yang dinaungi oleh Instansi pendidikan dan Perguruan Tinggi. Hasil penelitian tersebut tentunya dengan harapan berguna bagi masyarakat lokal, nasional bahkan internasional.
Institusi pendidikan sangat erat dengan ilmu pengetahuan, begitu pula ilmu pengetahuan sangat erat dengan ilmuan. Ketiga komponen tersebut harus berjalan lurus demi tercapainya tujuan perguruan tinggi. Jika salah satu komponen tersebut berbeda arah, maka tujuan tersebut pasti akan berhenti.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh seorang ilmuan tentunya dibutuhkan sarana dan prasarana yang mendukunng unutk penelitian tersebut. Sayangnya keadaan tersebut semakin menipis seiring pihak institusi atau perguruan tinggi dalam menggelontorkan dana tidak optimal. Masalah tersebut semakin ironis ketiga penghargaan yang diberikan kepada ilmuan begitu minim bahkan tidak ada.
`Penulis adalah mahasiswa peternakan Uiversitas Brawijaya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H