Mohon tunggu...
Yan Mulyana
Yan Mulyana Mohon Tunggu... -

mahasiswa peternakan universitas brawijaya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Belajar Praktis Membunuh Kemampuan Bernalar

17 Juni 2012   17:43 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:52 949
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Keberadaan Lembaga Bimbingan Belajar (LBB) setidaknya membantu siswa SMA melewati masa terakhir sekolah untuk menghadapi Ujian Nasional (UN) dan meloloskan ke Perguruan Tinggi favorit.

Terasa peran yang begitu penting keberadaan dari LBB ini. Betapa tidak, siswa merasa terbantu dengan pembelajaran yang diberikan dalam menghadapi soal-soal ujian. Cara praktis menjawab soal dan hasilnya 90 % benar menjadi nilai utuh yang dijual oleh LBB ini. Bukan hanya soal ujian sekolah atau nasional saja yang dibahas, soal ujian masuk Perguruan Tinggi (PT) pun dibahas tuntas.

Peningkatan minat siswa SMA untuk mengikuti program LBB yang ditawarkan dikota-kota besar semakin meningkat. Hal demikian tidak lain persaingan masuk PT khususnya perguruan Tinggi Negeri (PTN) favorit. Tentunya berharap LBB ini dapat membantu mereka dalam persaingan merebut bangku kuliah PTN/PTS. Suka tidak suka banyak siswa yang berhasil merebut bangku kuliah setelah bergabung dengan LBB ini. Sejatinya LBB mampu memberikan informasi PTN/PTS dan trik tips masuk kuliah yang diinginkan.

Siswa dibekali cara mudah (singkat) dalam menghadapi semua soal ujian. Khususnya cara menuntaskan soal matematika, fisika dan kimia. Hanya hitungan detik soal dapat terjawab dengan benar. Namun cara demikian dirasa kurang tepat untuk meningkatkan kemampuan penalaran siswa. Cara ini dianggap membunuh kemampuan bernalar sisswa. Betapa tidak, siswa lebih cenderung memakai cara cepat untuk memecahkan soal, karena dianggap lebih cepat dan praktis dan hasilnya pun benar.

Kemampuan bernalar

Dilansir diharian kompas opini (16/06), Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) merumuskan Program for International Student Assessment (PISA) guna menjawab kecakapan menghapal kognitif serta kecakapan berfikir tingkat tinggi yang semakin menurun.

Hasil yang diperoleh Indonesia memang cukup rendah bahkan bisa dikatakan buruk. Mengapa pelajar kita begitu buruk pencapaiannya di PISA? Tentunya kita sangat setuju, bahwa pelajar Indonesia tidak bodoh? Namun mengapa?. Tidak menutup mata pendidikan adalah pilar utama dalam membangun negara. Para pembangun negara tentunya tidak lain adalah generasi muda yang berpendidikan. Namun kemampuan bernalar tinggi yang ditunjukan sangat buruk.

Jika kita meninjau soal-soal UN tidak terdapat soal yang mengeluarkan kemampuan bernalar tinggi. Soal yang dihadapi hanya mensubsitusikannya (memasukan) angka-angkanya saja, seperti pada penyelesaian dalil pytagoras hanya mencantumkan angka ke rumus a2+b2=c2. Pun dengan soal-soal ujian masuk perguruan tinggi, bukan soalnya yang salah namun cara cepat memecahkan soal tersebut yang dirasa kurang tepat. Hanya 2 atau 3 coretan tanpa harus mengeluarkan kemampuan bernalar yang tinggi soal dapat terjawab dengan mudah.

Keberadaan LBB

Hampir diseluruh kota-kota di Indonesia yang mempunyai tingkat pendidikan yang cukup baik, pasti disitu terdapat LBB. Target siswa yang dirangkul bukan hanya siswa SMA saja, namun, siswa SD, SMP dan lulusan SMA. Khusus siswa yang sudah lulus SMA, mereka mengikuti program ini akan membantu masuk PT favorit.

Di Tasikmalaya, kota denagn budaya pendidikan yang cukup banyak, terdapat kurang lebih 5 LBB yang cukup terkenal. Hampir 50% siswa SMA dikota kerajinan ini mengikuti program yang diadakan oleh LBB. Apalagi dengan SMA yang cukup terkenal, hampir 70% siswanya mengikuti program ini. Pun denagn keberhasilan siswa menempuh ujian dan masuk PT favorit selalu memperoleh hasil yang cukup memuaskan.

Salah satu LBB menawarkan macam-macam program pembelajaran, seperti program kelas regular, kelas silver dan kelas Gold. Pada kelas regular fasilitas yang diberikan berupa belajar tambahan dan cara mudah menjawab soal. Kelas regular ini tentunya dengan jaminan lulus UN, sebagai harga jualnya. Sedangkan, pada kelas silver dan gold menjaminkan masuk PT favorit khususnya PTN favorit seperti Universitas Indonesia, Institute teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada atau Universitas padjajaran.

Budaya bernalar

Pada akhir-akhir abad 20 sekitar tahun 1969-1998, Richard J Murnane (Harvard kenedy School) dan Frank Levy (MIT), mengungkapkan kecakapan kogmitif seperti menghafal serta kecakapan berfikir tingkat tinggi semakin tidak dibutuhkan didunia kerja. Justru kecakapan memecahkan masalah tak rutin dan kecakapan berkomunikasi kompleks semakin dibutuhkan. Apalagi keberadaan computer/ mesin mengasingkan kemampuan bernalar. Betapa tidak, manusia justru semakin dibutuhkan pada pemecahan masalah tidak rutin karena masalah rutin dapat diselesaikan dengan computer.

Belajar formal berawal dari Sekolah Dasar (SD), kita dipelajari berbagai pelajaran seperti matematika, IPA, IPS, B. Indonesia, B. inggris atau kewarganegaraan. Kita ditekankan untuk bisa mengerjakan soal-soal. Menghafalkan rumus dan berhitung cepat tanpa makna sama sekali. Analoginya kita disuruh menyebrangi lautan ke pulau yang begitu jauh dengan menggunakan kompas yang rusak.

Kecintaan akan belajar pada proses penalaran adalah jiwa budaya bernalar. Adanya teknologi pencari informasi dengan computer sebagai alatnya dan google sebagai mesin pencarinya merupakan penunjang untuk mengadaptasikan budaya bernalar.

Tidak dengan cara menghafal rumus dan berhitung cepat, thok!! Untuk proses belajar. Tapi penanaman budaya bernalar yang harus diterapkan.

Yan mulyana (19)

Mahasiswa Universitas Brawijaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun