Pilih Disiksa dan Dipenjara daripada Membocorkan Rahasia Pejuang, Belanda Geram, Gerakannya Selalu Terendus, Disabotase hingga Banyak Korban Meninggal
NGANJUK - Kompasiana - Saat berjuang melawan tentara Belanda bersama para pejuang Mobil Brigadir (Mobrig) Polisi di Nganjuk, naluri intelijen Pandergoen muncul. Bahkan nama Pandergoen yang berbau nama Belanda diganti nama pribumi (Jawa), Suratman.Â
Keahlian dalam bidang memata-matai musuh dan memberikan informasi rahasia dijalankan dengan rapih. Lebih-lebih, penampilan fisiknya yang mirip orang Belanda, sangat menguntungkan untuk menjalankan tugas intelijen-nya.Â
Sehingga, setiap pergerakan dan kekuatan tentara Belanda pada saat agresi tahun 1948 dan 1949 dapat diendus dengan baik oleh Pandergoen.
Misalnya, pada saat tentara Belanda akan bergerak ke wilayah Sawahan, menyerang pasukan Jenderal Sudirman yang sedang memasuki kawasan hutan lereng Gunung Wilis, sehari sebelumnya, Suratman (Pandergoen) telah menginformasikan terlebih dahulu kepada para pejuang (TNI dan polisi) yang sedang berjaga-jaga.Â
Kemudian, ketika tentara Belanda melintasi jalan menuju Sawahan, tepat di jembatan Dusun Pandansili, Desa Kweden, Kecamatan Ngetos, dihadang oleh para pejuang. Kontak senjata antara tentara Belanda dengan para pejuang terjadi di jembatan ini, hingga para tentara Belanda gagal untuk menyerang pasukan Jenderal Sudirman.
Bersamaan dengan peristiwa penghadangan tentara Belanda oleh TNI dan polisi di jembatan Kweden, Imam Bahcri telah memimpin pasukan Brigade Mobil polisi berjaga-jaga di Desa Bendolo untuk menghadapi tentara Belanda yang akan naik ke Sawahan.
Selanjutnya, pada 18 September 1948 terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh Front Demokrasi Rakyat (FDR), yang terdiri atas Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Sosialis Indonesia (PSI), Partai Buruh Indonesia (PBI) Pemuda Rakyat dan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) di wilayah Madiun.
Waktu itu, Pandergoen sebagai telik sandi telah menginformasikan jika pasukan pemberontak hampir mendekati Nganjuk lewat jalan besar mulai dari Madiun --Caruban -- Saradan -- Wilangan -- Bagor - Guyangan mengarah ke Nganjuk.
Pada 19 September 1948, pasukan TNI bersama brigade mobil polisi melakukan penghadangan di perbatasan Saradan - Wilangan. Atas saran Moedjoko dan Pandergoen, jembatan Wilangan dihancurkan agar Laskar Minyak (PKI) dari Nganjuk tidak bisa bergabung dengan pemberontak Madiun di Wilangan.