Mohon tunggu...
sujono umar syahid
sujono umar syahid Mohon Tunggu... -

Pegiat Pengembangan Sumber Daya Manusia di Profetika Training Centre

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kelas Pagi 1: Menemani Istri Belanja di Pasar

20 Januari 2015   17:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:45 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sebelum berangkat kerja, pagi-pagi sekali terkadang saya masih menyempatkan diri menemani istri belanja sayuran di pasar. Mendampingi dan mengamati istri membayar bayam seikat Rp 2.500, terong 1kg Rp 4.500, cabe 14 buah Rp 2.000, membawakan barang belanjaan, menggendong anak saat si kecil merengek bersikeras ikut ke pasar. Kadang sengaja cuma tak tunggu di parkiran.

Belanja di pasar atau warung sebenarnya sepele, terlalu biasa. Akan menjadi istimewa apabila ada suasana membangun dialog yang menumbuhkan kebersamaan pasangan suami istri. Obrolan yang bukan sekedar soal harga harga kebutuhan.

"Mas, kok mohal amat sih bayem, kan biasanya seikat 1000, kok naeknya banyak amat jadi 2.500 ya.., brokoli yang biasanya qt cukup beli 3000, sekarang dengan bobot yang sama jadi 7000-10.000. Masak harga gas 3,5 Kg yang dulu awalnya 14.000 sekarang merangkak naik sampai 20.000."

Saat harga harga kebutuhan sedang tidak menentu, celoteh seorang istri yang di rumah masih sempat membesut dapur, bisa bernada protes, keluh kesah, khawatir uang belanja tak lagi cukup, dan bisa juga bernada kesal. Wajarlah tabiat Ibu-Ibu. Tak pandang kelas ekonomi atas atau jelata. Memang Ibu-ibu seringkali lebih sensitif  soal fluktuasi harga-harga kebutuhan pokok, sebab mayoritas ibu ibu memang mantengin neraca, cashflow keuangan keluarga.

Apabila ini terjadi di pasar, dihadapan seorang suami, bagaimana ya kita memberikan komentar terbaik. hehehe.. maaf aku terplengeh duluan sebelum menuturkan pilihan sikap yang aku ambil. Soalnya membayangkan banyak pikiran yang terlintas begitu saja. Sebenarnya ada beberapa alternatif feedback yang mungkin bisa kita berikan;

"Ya itu, gara-gara elu kagak ngikut pilihan gue waktu pilpres kemaren, makanya jangan sok tau lu soal capres, milih capres kok berdasarkan yang rame en lebih banyak tebar pesona, kayak artis aje. Kebanyakan nonton infotainment sih lo. Rasain lu akibatnya!" Ini jawaban politisi kalap terhadap rival, pun istri sendiri.

Adapun jawaban suami ekonom; "Ini memang bentuk ketidakbecusan boz pasar Indonesia ngatur harga harga pasar. Sebenernya ga masalah sih, kalo upah kerja juga terus naik sampe cukup buat blanja kebutuhan."

"Sayy, yang terpenting anak-anak kita di rumah tetap mendapatkan nutrisi yang cukup untuk tumbuh kembangnya. Semoga tetap sehat dan bisa belajar dengan baik. Untuk sementara waktu kita menahan diri dari keinginan, kita belajarkan anak-anak tentang itsar ya, mengutamakan saudaranya di atas kepentingan diri sendiri. Mari kita jadikan saat-saat seperti ini untuk menumbuh membesarkan jiwa anak-anak kita. Insya Allah situasi apapun selalu ada solusinya, sepanjang kita selalu berusaha bersama. Bukan soal harga-harga sembako yang pantas kita cemaskan naik turunnya. Kita mesti lebih khawatirkan naik turunnya cinta dan iman keluarga kita kepada Allah." Pengennya bisa begini aku ngejawab istri saat itu juga di pasar.

_________________

Pasar Bantengan Banguntapan, Januari 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun